Saturday, September 30, 2006
Pasar Legendaris dari Tanah Batavia
Sejak dahulu hingga sekarang, Pasar Tanah Abang bagaikan pasar legendaris dari Batavia. Pusat keramaian ini tak hanya menjadi lokasi favorit bagi para pedagang untuk berniaga, melainkan juga sebagai tempat belanja yang banyak didatangi para pembeli dari segala penjuru dunia dan tanah air sendiri. Selain karena barang-barangnya tersedia dalam banyak pilihan, Pasar Tanah Abang pun terkenal karena harga-harga barangnya yang murah dengan kualitas yang tak kalah bagus dengan tempat lainnya.
Pasar Tanah Abang, nama yang telah dikenal sejak tahun 1735-an. Ketika Justinus Vinck, seorang Belanda pemilik tanah di daerah Tanah Abang, mendirikan pasar di atas tanah miliknya ini. Keramaian di Pasar Tanah Abang tempo dulu, adalah berkat jalur Kali Krukut. Kali yang mengalir dekat Tanah Abang itu, ramai dikunjungi perahu para pedagang yang menjual maupun membeli barang di Pasar Tanah Abang.
Menurut catatan sejarah, menjelang akhir abad ke-19 Tanah Abang mulai ramai dihuni oleh etnis Timur Tengah. Hingga tahun 1920 jumlah etnis Arab di kawasan Tanah Abang mencapai sekitar 13.000 orang. Berdirinya Pasar Tanah Abang tidak lepas dari sejarah lahirnya kampung-kampung tua di Jakarta. Nama pasar ini dulunya adalah nama sebuah wilayah yang disebut Kampung Tanah Abang. Wilayah Tanah Abang sekarang meliputi Kelurahan Kampung Bali, Kebon Kacang, dan Kebon Melati. Akan tetapi yang menjadi inti kampung Tanah Abang sekarang, yaitu daerah di sekeliling pasar Tanah Abang itu sendiri.
Pada tahun 1970-an Pasar Tanah Abang dibangun hampir
bersamaan dengan dibangunnya Pasar Senen. Kedua pasar ini dulunya
dijadikan pusat perdagangan utama. Perkembangan kedua pasar inilah
yang tidak disia-siakan oleh pedagang dari Sumatera Barat. Bahkan selanjutnya
kedua pasar ini dikenal pula sebagai pusatnya urang awak mengadu
peruntungan di kota Jakarta.
Perkembangan penduduk makin pesat. Apalagi setelah arus urbanisasi
mengalir lancar dari daerah-daerah lain di Indonesia. Pasar Tanah Abang
pun tak luput dari incaran pendatang untuk mengadu nasib. Makin maraknya pedagang etnis Cina di Pasar Tanah Abang,berawal setelah peremajaan pasar itu diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tahun 1975.
Pasar Tanah Abang Zaman Sekarang
Dari waktu ke waktu, tempat ini berkembang menjadi sebuah tempat berkonsep layanan yang mempertahankan nilai-nilai tradisional dan diperkaya dengan pilihan lokasi yang telah modern.
Transaksi jual beli, terjadi layaknya pasar-pasar tradisional lain. Tawar menawar harga, adalah peristiwa rutin yang terbiasa ada di tempat ini. Kelebihan yang ada di Pasar Tanah Abang sekarang adalah, pengunjungnya tak perlu repot-repot membersihkan sandalnya dari tanah merah yang becek menempel di dasar sandal (seperti pada 300-an tahun yang lalu ketika Pasar Tanah Abang baru dibuka), atau repot-repot membawa kipas tangan jika hawa menjadi panas dan gerah. Pengunjung juga tak perlu selalu cemas takut dicopet karena membawa dompet yang gemuk berisi uang tunai. Kini, keamanannya terjamin. Transaksi pembayaran di beberapa los-nya pun, sudah dapat menggunakan fasilitas kartu kredit.
Sekarang, Pasar Tanah Abang menyediakan fasilitas yang dihadirkan demi kenyamanan para pembelinya. Pasca peristiwa kebakaran pada tahun 2002 lalu, tempat ini telah dipugar dan beberapa pedagangnya direlokasi ke dalam sebuah gedung megah, bertingkat 18. Tempat ini dikenal sebagai Blok A, Pasar Tanah Abang.
Pasar Tanah Abang telah berubah wajah. Di bangunan seluas 151.202 meter persegi ini terdapat 149 unit eskalator, 4 unit passenger lift (capsule), 4 unit passenger lift biasa, 8 unit lift barang (kapasitas 1.000 dan 2.000 kilogram), dan fasilitas AC central. Setiap kios memiliki satu line telepon, serta sejumlah fasiltas lainnya. Lahan parkir yang tersedia mampu menampung hingga 2000 mobil. Setidaknya, fasilitas ini dapat mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas di area Tanah Abang.
Ciri khas Blok A-Pasar Tanah Abang sebagai pusat grosir tekstil dan garmen, khususnya busana muslim, tidak lantas hilang. Los-los yang menghuni Blok A, memang diprioritaskan bagi para pedagang tekstil. Dari Pintu Utama Lt. semi basement 2, pengunjung akan disuguhi pemandangan aneka warna dan corak kain/tekstil yang tersusun rapi. Penerangan yang ada di dalam ruangan gedung, menambah indah kombinasi warna yang muncul dari pajangan-pajangan produk yang dijual di deretan los di sana.
Pusat Grosir Tekstil
Popularitas Pasar Tanah Abang, hingga sekarang tercatat sebagai lokasi pusat grosir tekstil. Semua orang yang pernah membeli bahan tekstil di Pasar Tanah Abang dengan pilihan aneka corak menarik dan harganya yang relatif terjangkau oleh semua kalangan, pasti akan menunjuk tempat ini sebagai tempat favorit untuk berbelanja tekstil di Jakarta.
Dari mulai produk-produk lokal hingga tekstil bahan import, ada di tempat ini. Harga dan coraknya juga sangat variatif. Seperti yang tersedia di los tekstil milik Cahyadi. Ia menuturkan, “Kami jual macam-macam bahan tekstil. Dari mulai bahan border buatan Bandung, sampai ke bahan tekstil buatan Italia. Harganya juga banyak macam. Malah, untuk produk lokal, kami letakkan di tempat yang mudah dijangkau, supaya pembelinya mudah memilih. Itu, di deretan paling depan, ada bahan brokat buatan Bandung, harganya Rp 10.000,- s/d Rp 12.000,- per meternya. Murah.”
Ada beberapa jenis bahan yang disebutkannya sebagai tekstil import buatan Italia, Korea, Tiongkok, bahkan bahan wol dari Inggris. Harganya mulai dari Rp 80.000,- s/d Rp 500.000,- per meter.
Cahyadi telah berkecimpung di bisnis tekstil sejak 20 tahun yang lalu hingga sekarang. Dulunya, ia adalah salah satu pedagang yang mengisi los di Blok D Pasar Tanah Abang. Sejak bagunan Blok A didirikan dan dibuka, ia memutuskan untuk memilih lokasi berniaganya di tempat ini. Ia berpendapat, “Gedung Blok A ini baru jadi sekitar satu tahun yang lalu. Nah, kami pindah ke sini, baru 8 bulan. Tempat ini lumayan. Nyaman, enak, punya AC, punya fasilitas yang cukup. Keamanannya juga bagus.”
Dari semua los tekstil, kami singgah di sebuah los yang menjual berbagai kain dan sarung khas Indonesia. “Kami disini, menjual kain Songket Palembang, kain Batik sutera Pekalongan, dan Batik Cirebon,” papar Wiwin, pemilik los ini.
Dari penuturannya, pembelinya datang dari berbagai pelosok tanah air dan mancanegara. Peminat kain songket Palembang, dan berbagai kain Batik di tempat ini, cukup banyak. Bahkan beberapa kali mereka kedatangan pembeli dari Brazil. “Biasanya, pengunjung yang datang ke sini memang membeli kain kami untuk oleh-oleh,” ungkap Wiwin.
Untuk kain Songket Palembang, yang paling diminati adalah coraknya yang disebut Limar Kandang dan Cantik Manis. “Dua corak ini memang banyak peminatnya,” ucapnya mempertegas.
Tentang harga kain, Wiwin menjelaskan, “Kalau harga jual satuan, satu lembar kain songket, sekitar Rp 900.000,-. Dan kalau untuk grosir, kami jual sekitar Rp700.000,- per lembarnya. Sedangkan harga satu kodi untuk kain Batik Pekalongan, sekitar Rp2.800.000,- per set. Jadi, untuk memperoleh satu set (selendang dan kain Batik Pekalongan), harganya relatif murah. Cuma Rp140.000,-.”
Agak masuk ke dalam deretan los, ada salah satunya yang menjual bahan sprei. Di gerainya, terpapar berhelai-helai kain bercorak warna warni, menarik perhatian pengunjung. Uniknya, gerai tempat Arif menjual aneka kain bercorak ini, menyediakan layanan plus. “Bahan sprei ini kami jual dengan kisaran harga Rp 17.000,- s/d Rp 20.000 per meter. Kalau pembeli ingin langsung dibuatkan satu set sprei beserta sarung bantal dan gulingnya, di tempat kami juga bisa. Ongkos pembuatan utk satu set sprei ukuran double, hanya butuh Rp 40.000,-. Sekarang pesan, besok bisa langsung diambil,” ungkap Arif, pemilik los ini. Ia telah berniaga di Pasar Tanah Abang sejak tahun 1985.
Pasar Tanah Abang, hadir di Indonesia bukan cuma sebagai tempat berbelanja. Di dalamnya, pengunjung bisa mendapatkan lebih dari itu. Tempat ini dikunjungi oleh lebih dari 2 juta orang pada setiap bulan puasa (bulan Ramadhan) dalam setiap tahunnya.
Wisata belanja yang kali ini kita kunjungi bukanlah pasar sembarang pasar. Ini, Pasar Tanah Abang, tempat berkumpulnya berbagai etnis pedagang dan pembelinya. Ini, Pasar Tanah Abang. Batavia punya legenda. Pasar tua yang telah berumur 300 tahun lebih. Tak lekang dimakan zaman.
(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta)
Writer: Ayu N. Andini
Pasar Tanah Abang, nama yang telah dikenal sejak tahun 1735-an. Ketika Justinus Vinck, seorang Belanda pemilik tanah di daerah Tanah Abang, mendirikan pasar di atas tanah miliknya ini. Keramaian di Pasar Tanah Abang tempo dulu, adalah berkat jalur Kali Krukut. Kali yang mengalir dekat Tanah Abang itu, ramai dikunjungi perahu para pedagang yang menjual maupun membeli barang di Pasar Tanah Abang.
Menurut catatan sejarah, menjelang akhir abad ke-19 Tanah Abang mulai ramai dihuni oleh etnis Timur Tengah. Hingga tahun 1920 jumlah etnis Arab di kawasan Tanah Abang mencapai sekitar 13.000 orang. Berdirinya Pasar Tanah Abang tidak lepas dari sejarah lahirnya kampung-kampung tua di Jakarta. Nama pasar ini dulunya adalah nama sebuah wilayah yang disebut Kampung Tanah Abang. Wilayah Tanah Abang sekarang meliputi Kelurahan Kampung Bali, Kebon Kacang, dan Kebon Melati. Akan tetapi yang menjadi inti kampung Tanah Abang sekarang, yaitu daerah di sekeliling pasar Tanah Abang itu sendiri.
Pada tahun 1970-an Pasar Tanah Abang dibangun hampir
bersamaan dengan dibangunnya Pasar Senen. Kedua pasar ini dulunya
dijadikan pusat perdagangan utama. Perkembangan kedua pasar inilah
yang tidak disia-siakan oleh pedagang dari Sumatera Barat. Bahkan selanjutnya
kedua pasar ini dikenal pula sebagai pusatnya urang awak mengadu
peruntungan di kota Jakarta.
Perkembangan penduduk makin pesat. Apalagi setelah arus urbanisasi
mengalir lancar dari daerah-daerah lain di Indonesia. Pasar Tanah Abang
pun tak luput dari incaran pendatang untuk mengadu nasib. Makin maraknya pedagang etnis Cina di Pasar Tanah Abang,berawal setelah peremajaan pasar itu diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tahun 1975.
Pasar Tanah Abang Zaman Sekarang
Dari waktu ke waktu, tempat ini berkembang menjadi sebuah tempat berkonsep layanan yang mempertahankan nilai-nilai tradisional dan diperkaya dengan pilihan lokasi yang telah modern.
Transaksi jual beli, terjadi layaknya pasar-pasar tradisional lain. Tawar menawar harga, adalah peristiwa rutin yang terbiasa ada di tempat ini. Kelebihan yang ada di Pasar Tanah Abang sekarang adalah, pengunjungnya tak perlu repot-repot membersihkan sandalnya dari tanah merah yang becek menempel di dasar sandal (seperti pada 300-an tahun yang lalu ketika Pasar Tanah Abang baru dibuka), atau repot-repot membawa kipas tangan jika hawa menjadi panas dan gerah. Pengunjung juga tak perlu selalu cemas takut dicopet karena membawa dompet yang gemuk berisi uang tunai. Kini, keamanannya terjamin. Transaksi pembayaran di beberapa los-nya pun, sudah dapat menggunakan fasilitas kartu kredit.
Sekarang, Pasar Tanah Abang menyediakan fasilitas yang dihadirkan demi kenyamanan para pembelinya. Pasca peristiwa kebakaran pada tahun 2002 lalu, tempat ini telah dipugar dan beberapa pedagangnya direlokasi ke dalam sebuah gedung megah, bertingkat 18. Tempat ini dikenal sebagai Blok A, Pasar Tanah Abang.
Pasar Tanah Abang telah berubah wajah. Di bangunan seluas 151.202 meter persegi ini terdapat 149 unit eskalator, 4 unit passenger lift (capsule), 4 unit passenger lift biasa, 8 unit lift barang (kapasitas 1.000 dan 2.000 kilogram), dan fasilitas AC central. Setiap kios memiliki satu line telepon, serta sejumlah fasiltas lainnya. Lahan parkir yang tersedia mampu menampung hingga 2000 mobil. Setidaknya, fasilitas ini dapat mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas di area Tanah Abang.
Ciri khas Blok A-Pasar Tanah Abang sebagai pusat grosir tekstil dan garmen, khususnya busana muslim, tidak lantas hilang. Los-los yang menghuni Blok A, memang diprioritaskan bagi para pedagang tekstil. Dari Pintu Utama Lt. semi basement 2, pengunjung akan disuguhi pemandangan aneka warna dan corak kain/tekstil yang tersusun rapi. Penerangan yang ada di dalam ruangan gedung, menambah indah kombinasi warna yang muncul dari pajangan-pajangan produk yang dijual di deretan los di sana.
Pusat Grosir Tekstil
Popularitas Pasar Tanah Abang, hingga sekarang tercatat sebagai lokasi pusat grosir tekstil. Semua orang yang pernah membeli bahan tekstil di Pasar Tanah Abang dengan pilihan aneka corak menarik dan harganya yang relatif terjangkau oleh semua kalangan, pasti akan menunjuk tempat ini sebagai tempat favorit untuk berbelanja tekstil di Jakarta.
Dari mulai produk-produk lokal hingga tekstil bahan import, ada di tempat ini. Harga dan coraknya juga sangat variatif. Seperti yang tersedia di los tekstil milik Cahyadi. Ia menuturkan, “Kami jual macam-macam bahan tekstil. Dari mulai bahan border buatan Bandung, sampai ke bahan tekstil buatan Italia. Harganya juga banyak macam. Malah, untuk produk lokal, kami letakkan di tempat yang mudah dijangkau, supaya pembelinya mudah memilih. Itu, di deretan paling depan, ada bahan brokat buatan Bandung, harganya Rp 10.000,- s/d Rp 12.000,- per meternya. Murah.”
Ada beberapa jenis bahan yang disebutkannya sebagai tekstil import buatan Italia, Korea, Tiongkok, bahkan bahan wol dari Inggris. Harganya mulai dari Rp 80.000,- s/d Rp 500.000,- per meter.
Cahyadi telah berkecimpung di bisnis tekstil sejak 20 tahun yang lalu hingga sekarang. Dulunya, ia adalah salah satu pedagang yang mengisi los di Blok D Pasar Tanah Abang. Sejak bagunan Blok A didirikan dan dibuka, ia memutuskan untuk memilih lokasi berniaganya di tempat ini. Ia berpendapat, “Gedung Blok A ini baru jadi sekitar satu tahun yang lalu. Nah, kami pindah ke sini, baru 8 bulan. Tempat ini lumayan. Nyaman, enak, punya AC, punya fasilitas yang cukup. Keamanannya juga bagus.”
Dari semua los tekstil, kami singgah di sebuah los yang menjual berbagai kain dan sarung khas Indonesia. “Kami disini, menjual kain Songket Palembang, kain Batik sutera Pekalongan, dan Batik Cirebon,” papar Wiwin, pemilik los ini.
Dari penuturannya, pembelinya datang dari berbagai pelosok tanah air dan mancanegara. Peminat kain songket Palembang, dan berbagai kain Batik di tempat ini, cukup banyak. Bahkan beberapa kali mereka kedatangan pembeli dari Brazil. “Biasanya, pengunjung yang datang ke sini memang membeli kain kami untuk oleh-oleh,” ungkap Wiwin.
Untuk kain Songket Palembang, yang paling diminati adalah coraknya yang disebut Limar Kandang dan Cantik Manis. “Dua corak ini memang banyak peminatnya,” ucapnya mempertegas.
Tentang harga kain, Wiwin menjelaskan, “Kalau harga jual satuan, satu lembar kain songket, sekitar Rp 900.000,-. Dan kalau untuk grosir, kami jual sekitar Rp700.000,- per lembarnya. Sedangkan harga satu kodi untuk kain Batik Pekalongan, sekitar Rp2.800.000,- per set. Jadi, untuk memperoleh satu set (selendang dan kain Batik Pekalongan), harganya relatif murah. Cuma Rp140.000,-.”
Agak masuk ke dalam deretan los, ada salah satunya yang menjual bahan sprei. Di gerainya, terpapar berhelai-helai kain bercorak warna warni, menarik perhatian pengunjung. Uniknya, gerai tempat Arif menjual aneka kain bercorak ini, menyediakan layanan plus. “Bahan sprei ini kami jual dengan kisaran harga Rp 17.000,- s/d Rp 20.000 per meter. Kalau pembeli ingin langsung dibuatkan satu set sprei beserta sarung bantal dan gulingnya, di tempat kami juga bisa. Ongkos pembuatan utk satu set sprei ukuran double, hanya butuh Rp 40.000,-. Sekarang pesan, besok bisa langsung diambil,” ungkap Arif, pemilik los ini. Ia telah berniaga di Pasar Tanah Abang sejak tahun 1985.
Pasar Tanah Abang, hadir di Indonesia bukan cuma sebagai tempat berbelanja. Di dalamnya, pengunjung bisa mendapatkan lebih dari itu. Tempat ini dikunjungi oleh lebih dari 2 juta orang pada setiap bulan puasa (bulan Ramadhan) dalam setiap tahunnya.
Wisata belanja yang kali ini kita kunjungi bukanlah pasar sembarang pasar. Ini, Pasar Tanah Abang, tempat berkumpulnya berbagai etnis pedagang dan pembelinya. Ini, Pasar Tanah Abang. Batavia punya legenda. Pasar tua yang telah berumur 300 tahun lebih. Tak lekang dimakan zaman.
(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta)
Writer: Ayu N. Andini
Catatan Kenangan dari Kepulauan Seribu
(keterangan foto: Benteng Martello di Pulau Kelor--Kepulauan Seribu)
Di Teluk Jakarta, Kepulauan Seribu banyak diserbu para wisatawan domestik dan mancanegara. Di sana ada Pulau Onrust, Pulau Bidadari, Pulau Cipir, dan Pulau Kelor yang menarik untuk dilirik. Pulau-pulau ini mengajak kita untuk sejenak menjauh dari segala hiruk pikuk kota Jakarta.
Menyeberang sedikit dari Jakarta, kita bisa melihat nuansa yang jauh berbeda. Lebih bersih dan indah. Lihat saja air lautnya yang masih biru jernih itu. Udara di sana pun jauh dari segala macam polusi. Berwisata bahari kelilingi beberapa pulau di Kepulauan Seribu ini, akan memberi catatan ingatan tersendiri.
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” begitulah kira-kira bunyi kalimat himbauan dari Asep Kambali, Ketua KPSBI-Historia yang kali itu memandu perjalanan wisata bahari dan bercerita banyak tentang sejarah yang ada di pulau-pulau itu.
Pulau Onrust yang Tak Pernah Istirahat
Pulau Onrust terletak di wilayah Teluk Jakarta, termasuk dalam Kabupaten Kepulauan Seribu. Konon menurut cerita, pulau ini menjadi tempat peristirahatan/tempat plesiran raja-raja dari Banten. Udaranya yang sejuk, dan pohon-pohon yang rindang serta pemandangan pantai yang indah, membuat tempat ini sering dikunjungi kaum Kerajaan Banten tempo dulu.
Pada abad ke-17, pulau ini adalah tempat bongkar muat kapal dagang kaum VOC. Beras, gula, rempah-rempah, dan lain-lain, diangkut di pelabuhan kapal ini. Pulau ini begitu sibuknya, hingga diberi nama onrust. Artinya, pulau yang tidak beristirahat.
Banyaknya kapal yang berlabuh di pulau ini, membuat Pulau Onrust juga dikenal dengan nama Pulau Kapal. Menurut beberapa catatan sejarah, pada abad ke-17 tempat ini ramai dikunjungi kapal-kapal dagang. Banyak pula bangunan yang berdiri di tanah ini. Diantaranya adalah kincir angin yang besar, berfungsi sebagai penunjang kekuatan mesin pemotong kayu pada zaman itu.
Bangunan bekas gudang-gudang penyimpanan barang milik VOC, pos keamanan, tanggul-tanggul buatan Belanda, dan lain-lain, kini hanya berupa puing-puingnya saja.
Dari puing-puing inilah, para ahli sejarah mencatat bahwa Pulau Onrust beserta isinya pernah dibombardir oleh serangan tentara Inggris dalam beberapa periode, tahun 1800, 1806, dan 1810. Pemerintah Belanda membangun kembali dan memperbaiki beberapa sarana yang rusak. Namun gelombang tidal dari letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, memporak-porandakan seluruh bangunan yang ada di Pulau Onrust, Pulau Bidadari dan Pulau Kelor.
Lalu pada tahun 1911, di Pulau Onrust didirikan asrama dan karantina jemaah haji. Pada jaman penjajahan Jepang di Indonesia, pulau Onrust menjadi penjara bagi para penjahat kelas berat.Dan sejak tahun 1972, ditetapkan bahwa Pulau Onrust adalah pulau yang dilestarikan menurut SK pemerintah.
Di Pulau Onrust, pengunjung dapat menikmati keindahan laut dan melihat banyak peninggalan sejarah yang tersebar di hampir seluruh wilayah pulau ini. Beberapa pondasi dan puing-puing bangunan bekas barak karantina jemaah haji, bangunan bekas penjara jaman penjajahan Jepang, makam keramat, dan beberapa makam kuno Belanda.
Sebagian peninggalan sejarah, disimpan di dalam Museum Pulau Onrust yang letaknya tak jauh dari Menara Keker dan Loket Karcis masuk. Setiap orang yang ingin berkunjung ke Pulau Onrust, cukup membayar Rp 2.000,-.
Di tempat ini ada beberapa warung yang bisa menunjang beberapa kebutuhan pokok para pengunjung. Ada pula sebuah ruangan bangunan berdesain Eropa, bekas Dapur Umum peninggalan tahun 1911 dan dapat disewa bagi para kelompok wisatawan yang ingin menginap di sana. Biayanya relatif murah. Rp 750.000,- per harinya, dengan daya tampung hingga lebih dari 30 orang.
Sisa Jejak Bersejarah di Pulau Bidadari
Tak jauh dari Pulau Onrust, perjalanan wisata bisa diteruskan menuju ke Pulau Bidadari. Jarak tempuh dari Pulau Onrust ke tempat ini, hanya membutuhkan 15 menit dengan menggunakan transportasi laut.
Di Pulau Bidadari, juga terdapat “jejak-jejak” sejarah yang dikenal dengan nama Benteng Martello. Salah satu peninggalan zaman VOC yang diperkirakan telah berdiri di sana sejak abad ke-17. Uniknya, jalan masuk menuju ke dalam benteng ini belum ditemukan hingga sekarang. Pihak Pulau Bidadari Resort sebagai salah satu pihak yang ikut merawat peninggalan bersejarah ini, akhirnya membuatkan tangga khusus bagi para pengunjung yang ingin masuk dan melihat desain bangunan Benteng Martello dari dalam. Konon, benteng ini adalah benteng pengintai yang berdesain Perancis.
Sekarang, pulau ini terkenal dengan nama Pulau Bidadari. Di tempat ini berdiri sebuah resort di atas air laut. Terkenal dengan sebutan floating cottage. Desain rumah-rumah panggung ini mirip dengan perkampungan nelayan di Minahasa. Tersedia pula fasilitas untuk aneka olahraga air (jet ski, diving, dll).
Ada banyak pengunjung yang telah datang ke tempat ini. Tak hanya pulau dengan pesona pantainya yang indah, tetapi juga cerita dan peninggalan sejarah yang ada di sana menjadi catatan menarik bagi semua yang ingin datang ke sana. Biasanya, para tamu yang datang kesana dapat membayarkan tanda masuk ke pulau bidadari ini dengan harga Rp 25.000,- per orang.
Jembatan Ponton dan Meriam Kuno Berusia 300 Tahun
Pulau Cipir, adalah pulau yang juga menjadi tempat karantina jemaah haji pada tahun 1911 s/d 1933. Yang tampak di sana sekarang, adalah beberapa puing bangunan berusia tua. Diantaranya adalah barak haji dan bangunan bekas rumah sakit, tempat penampungan bagi para jemaah haji yang terkena penyakit menular pada waktu itu. Selain itu, di Pulau Cipir kita bisa melihat beberapa meriam kuno yang dulunya berfungsi sebagai senjata yang ditaruh di lambung-lambung kapal. Meriam ini adalah meriam kuno buatan Belgia yang diperkiraan sebagai salah satu peninggalan zaman VOC, yang berumur lebih dari 300 tahun.
Di dekat dermaga kecilnya, dibangun Loket Karcis Masuk yang lebih sering tak dijaga. Agak masuk ke dalam pulau, berdiri sebuah tugu dengan bentuk yang unik. Tugu ini diperkirakan dibuat pada tahun 1990-an oleh Dinas Pariwisata setempat.
Dari pulau ini, kita bisa memandang Pulau Onrust dan Pulau Bidadari di seberangnya. Di ujung Pulau Cipir, terdapat beberapa pondasi Jembatan Ponton. Peninggalan bersejarah ini, diperkirakan telah ada sejak tahun 1911. Jika air laut sedang surut, akan tampaklah susunan batu bata merah yang menjadi struktur bangunan pondasi dermaga kecil yang dulunya digunakan untuk menerima kedatangan para jemaah haji yang akan dikarantina di pulau ini.
Luas pulau ini sekitar 6 hektar. Letaknya berdampingan tak jauh dari Pulau Bidadari dan Pulau Onrust. Pulau Cipir juga disebut dengan nama Pulau Kahyangan atau Nirwana. Di sana hanya ada warung Pak Husein, penduduk asli Jakarta yang telah menempati dan turut merawat Pulau Cipir sejak tahun 1983.
Pulau Cipir, begitu indah namun tak ada sarana penginapan yang tersedia di sini. Jika tetap ingin bermalam di sana, dianjurkan untuk melengkapi perbekalan dengan tenda dan peralatan camping yang cukup.
Eloknya Pantai Kecil di Pulau Kelor
Dari Pulau Onrust, Pulau Kelor tak terlalu terlihat jelas. Pulau ini berukuran luas paling kecil daripada Pulau Onrust, Pulau Bidadari, dan Pulau Cipir. Pulau Kelor memiliki luas sekitar 3 hektar. Dari dermaga kecil tempat merapatnya kapal motor yang biasa ditumpangi pengunjung, kita bisa langsung melihat bangunan Benteng Martello yang berdiri tegak di sana.
Jangan heran, karena selain di Pulau Bidadari, Benteng Martello juga dibangun oleh kaum VOC di pulau ini. Desainnya hampir sebangun dengan yang ada di Pulau Bidadari. Bentuknya juga melingkar. Namun dari beberapa pondasi yang ada di sekitarnya, diperkirakan Benteng Martello yang ada di Pulau Kelor lebih besar dan lebih luas daripada Benteng Martello yang ada di Pulau Bidadari.
Sisa bangunan Benteng Martello yang masih berdiri di Pulau Kelor adalah ruang bagian tengah benteng. Sedangkan dinding benteng lingkar luarnya telah porak poranda akibat gelombang tidal dari letusan Gunung Krakatau.
Pulau kecil ini tak berpenghuni. Tak ada warung, tak ada pondok, dan tak ada sarana penginapan di sana. Menurut penuturan orang-orang yang berdiam di Pulau Onrust, dianjurkan untuk tidak menginap di Pulau Kelor karena anginnya bertiup sangat kencang.
Pulau Kelor, tetap patut menjadi pilihan tempat untuk dikunjungi. Dari tempat ini, Anda bisa menikmati pemandangan matahari terbit dan pantai yang indah. Di pasir-pasir tepi pantainya ada banyak rumah-rumah kerang berwarna-warni yang bisa kita pilih untuk jadi cinderamata yang mengembalikan ingatan kita tentang Pulau Kelor dan pantai kecilnya ini.
Tips perjalanan :
Untuk melakukan perjalanan ke pulau-pulau ini, dianjurkan agar memilih waktu pada musim kemarau (bulan Januari s/d Agustus) untuk menghindari cuaca buruk dan gelombang laut yang cukup besar.
Menuju Pulau Onrust, pengunjung punya tiga pilihan pelabuhan. Pelabuhan Marina Ancol, Pelabuhan Angke, dan Pelabuhan Muara Kamal (Jakarta Utara). Yang terdekat dengan Pulau Onrust adalah Pelabuhan Mura Kamal. Disana, ada kapal motor yang dapat disewa untuk pergi berkelompok menuju Pulau Onrust dengan jarak tempuh sekitar 30 menit s/d 45 menit. Biaya sewanya Rp 500.000,- s/d Rp 600.000,- perhari, untuk kapasitas 30 orang s/d 40 orang penumpang.
Perjalanan ke Pulau Onrust, lebih baik dilakukan sebelum waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB, sebelum gelombang laut membesar. Sedangkan dari Pulau Onrust menuju ke Pulau Bidadari dan Pulau Cipir, akan sangat menarik dilakukan pada saat hari masih terang dan cerah.
Untuk menikmati matahari terbit dan pemandangan yang indah di sana, lebih baik jika kita berkunjung ke Pulau Kelor pada saat waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB atau sebelum pukul 08.00 WIB. Karena kapal motor akan makin sulit merapat di dermaga kecilnya jika waktu telah lebih dari pukul 09.00 WIB.
(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta)
Writer : Ayu N. Andini
Menyeberang sedikit dari Jakarta, kita bisa melihat nuansa yang jauh berbeda. Lebih bersih dan indah. Lihat saja air lautnya yang masih biru jernih itu. Udara di sana pun jauh dari segala macam polusi. Berwisata bahari kelilingi beberapa pulau di Kepulauan Seribu ini, akan memberi catatan ingatan tersendiri.
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” begitulah kira-kira bunyi kalimat himbauan dari Asep Kambali, Ketua KPSBI-Historia yang kali itu memandu perjalanan wisata bahari dan bercerita banyak tentang sejarah yang ada di pulau-pulau itu.
Pulau Onrust yang Tak Pernah Istirahat
Pulau Onrust terletak di wilayah Teluk Jakarta, termasuk dalam Kabupaten Kepulauan Seribu. Konon menurut cerita, pulau ini menjadi tempat peristirahatan/tempat plesiran raja-raja dari Banten. Udaranya yang sejuk, dan pohon-pohon yang rindang serta pemandangan pantai yang indah, membuat tempat ini sering dikunjungi kaum Kerajaan Banten tempo dulu.
Pada abad ke-17, pulau ini adalah tempat bongkar muat kapal dagang kaum VOC. Beras, gula, rempah-rempah, dan lain-lain, diangkut di pelabuhan kapal ini. Pulau ini begitu sibuknya, hingga diberi nama onrust. Artinya, pulau yang tidak beristirahat.
Banyaknya kapal yang berlabuh di pulau ini, membuat Pulau Onrust juga dikenal dengan nama Pulau Kapal. Menurut beberapa catatan sejarah, pada abad ke-17 tempat ini ramai dikunjungi kapal-kapal dagang. Banyak pula bangunan yang berdiri di tanah ini. Diantaranya adalah kincir angin yang besar, berfungsi sebagai penunjang kekuatan mesin pemotong kayu pada zaman itu.
Bangunan bekas gudang-gudang penyimpanan barang milik VOC, pos keamanan, tanggul-tanggul buatan Belanda, dan lain-lain, kini hanya berupa puing-puingnya saja.
Dari puing-puing inilah, para ahli sejarah mencatat bahwa Pulau Onrust beserta isinya pernah dibombardir oleh serangan tentara Inggris dalam beberapa periode, tahun 1800, 1806, dan 1810. Pemerintah Belanda membangun kembali dan memperbaiki beberapa sarana yang rusak. Namun gelombang tidal dari letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, memporak-porandakan seluruh bangunan yang ada di Pulau Onrust, Pulau Bidadari dan Pulau Kelor.
Lalu pada tahun 1911, di Pulau Onrust didirikan asrama dan karantina jemaah haji. Pada jaman penjajahan Jepang di Indonesia, pulau Onrust menjadi penjara bagi para penjahat kelas berat.Dan sejak tahun 1972, ditetapkan bahwa Pulau Onrust adalah pulau yang dilestarikan menurut SK pemerintah.
Di Pulau Onrust, pengunjung dapat menikmati keindahan laut dan melihat banyak peninggalan sejarah yang tersebar di hampir seluruh wilayah pulau ini. Beberapa pondasi dan puing-puing bangunan bekas barak karantina jemaah haji, bangunan bekas penjara jaman penjajahan Jepang, makam keramat, dan beberapa makam kuno Belanda.
Sebagian peninggalan sejarah, disimpan di dalam Museum Pulau Onrust yang letaknya tak jauh dari Menara Keker dan Loket Karcis masuk. Setiap orang yang ingin berkunjung ke Pulau Onrust, cukup membayar Rp 2.000,-.
Di tempat ini ada beberapa warung yang bisa menunjang beberapa kebutuhan pokok para pengunjung. Ada pula sebuah ruangan bangunan berdesain Eropa, bekas Dapur Umum peninggalan tahun 1911 dan dapat disewa bagi para kelompok wisatawan yang ingin menginap di sana. Biayanya relatif murah. Rp 750.000,- per harinya, dengan daya tampung hingga lebih dari 30 orang.
Sisa Jejak Bersejarah di Pulau Bidadari
Tak jauh dari Pulau Onrust, perjalanan wisata bisa diteruskan menuju ke Pulau Bidadari. Jarak tempuh dari Pulau Onrust ke tempat ini, hanya membutuhkan 15 menit dengan menggunakan transportasi laut.
Di Pulau Bidadari, juga terdapat “jejak-jejak” sejarah yang dikenal dengan nama Benteng Martello. Salah satu peninggalan zaman VOC yang diperkirakan telah berdiri di sana sejak abad ke-17. Uniknya, jalan masuk menuju ke dalam benteng ini belum ditemukan hingga sekarang. Pihak Pulau Bidadari Resort sebagai salah satu pihak yang ikut merawat peninggalan bersejarah ini, akhirnya membuatkan tangga khusus bagi para pengunjung yang ingin masuk dan melihat desain bangunan Benteng Martello dari dalam. Konon, benteng ini adalah benteng pengintai yang berdesain Perancis.
Sekarang, pulau ini terkenal dengan nama Pulau Bidadari. Di tempat ini berdiri sebuah resort di atas air laut. Terkenal dengan sebutan floating cottage. Desain rumah-rumah panggung ini mirip dengan perkampungan nelayan di Minahasa. Tersedia pula fasilitas untuk aneka olahraga air (jet ski, diving, dll).
Ada banyak pengunjung yang telah datang ke tempat ini. Tak hanya pulau dengan pesona pantainya yang indah, tetapi juga cerita dan peninggalan sejarah yang ada di sana menjadi catatan menarik bagi semua yang ingin datang ke sana. Biasanya, para tamu yang datang kesana dapat membayarkan tanda masuk ke pulau bidadari ini dengan harga Rp 25.000,- per orang.
Jembatan Ponton dan Meriam Kuno Berusia 300 Tahun
Pulau Cipir, adalah pulau yang juga menjadi tempat karantina jemaah haji pada tahun 1911 s/d 1933. Yang tampak di sana sekarang, adalah beberapa puing bangunan berusia tua. Diantaranya adalah barak haji dan bangunan bekas rumah sakit, tempat penampungan bagi para jemaah haji yang terkena penyakit menular pada waktu itu. Selain itu, di Pulau Cipir kita bisa melihat beberapa meriam kuno yang dulunya berfungsi sebagai senjata yang ditaruh di lambung-lambung kapal. Meriam ini adalah meriam kuno buatan Belgia yang diperkiraan sebagai salah satu peninggalan zaman VOC, yang berumur lebih dari 300 tahun.
Di dekat dermaga kecilnya, dibangun Loket Karcis Masuk yang lebih sering tak dijaga. Agak masuk ke dalam pulau, berdiri sebuah tugu dengan bentuk yang unik. Tugu ini diperkirakan dibuat pada tahun 1990-an oleh Dinas Pariwisata setempat.
Dari pulau ini, kita bisa memandang Pulau Onrust dan Pulau Bidadari di seberangnya. Di ujung Pulau Cipir, terdapat beberapa pondasi Jembatan Ponton. Peninggalan bersejarah ini, diperkirakan telah ada sejak tahun 1911. Jika air laut sedang surut, akan tampaklah susunan batu bata merah yang menjadi struktur bangunan pondasi dermaga kecil yang dulunya digunakan untuk menerima kedatangan para jemaah haji yang akan dikarantina di pulau ini.
Luas pulau ini sekitar 6 hektar. Letaknya berdampingan tak jauh dari Pulau Bidadari dan Pulau Onrust. Pulau Cipir juga disebut dengan nama Pulau Kahyangan atau Nirwana. Di sana hanya ada warung Pak Husein, penduduk asli Jakarta yang telah menempati dan turut merawat Pulau Cipir sejak tahun 1983.
Pulau Cipir, begitu indah namun tak ada sarana penginapan yang tersedia di sini. Jika tetap ingin bermalam di sana, dianjurkan untuk melengkapi perbekalan dengan tenda dan peralatan camping yang cukup.
Eloknya Pantai Kecil di Pulau Kelor
Dari Pulau Onrust, Pulau Kelor tak terlalu terlihat jelas. Pulau ini berukuran luas paling kecil daripada Pulau Onrust, Pulau Bidadari, dan Pulau Cipir. Pulau Kelor memiliki luas sekitar 3 hektar. Dari dermaga kecil tempat merapatnya kapal motor yang biasa ditumpangi pengunjung, kita bisa langsung melihat bangunan Benteng Martello yang berdiri tegak di sana.
Jangan heran, karena selain di Pulau Bidadari, Benteng Martello juga dibangun oleh kaum VOC di pulau ini. Desainnya hampir sebangun dengan yang ada di Pulau Bidadari. Bentuknya juga melingkar. Namun dari beberapa pondasi yang ada di sekitarnya, diperkirakan Benteng Martello yang ada di Pulau Kelor lebih besar dan lebih luas daripada Benteng Martello yang ada di Pulau Bidadari.
Sisa bangunan Benteng Martello yang masih berdiri di Pulau Kelor adalah ruang bagian tengah benteng. Sedangkan dinding benteng lingkar luarnya telah porak poranda akibat gelombang tidal dari letusan Gunung Krakatau.
Pulau kecil ini tak berpenghuni. Tak ada warung, tak ada pondok, dan tak ada sarana penginapan di sana. Menurut penuturan orang-orang yang berdiam di Pulau Onrust, dianjurkan untuk tidak menginap di Pulau Kelor karena anginnya bertiup sangat kencang.
Pulau Kelor, tetap patut menjadi pilihan tempat untuk dikunjungi. Dari tempat ini, Anda bisa menikmati pemandangan matahari terbit dan pantai yang indah. Di pasir-pasir tepi pantainya ada banyak rumah-rumah kerang berwarna-warni yang bisa kita pilih untuk jadi cinderamata yang mengembalikan ingatan kita tentang Pulau Kelor dan pantai kecilnya ini.
Tips perjalanan :
Untuk melakukan perjalanan ke pulau-pulau ini, dianjurkan agar memilih waktu pada musim kemarau (bulan Januari s/d Agustus) untuk menghindari cuaca buruk dan gelombang laut yang cukup besar.
Menuju Pulau Onrust, pengunjung punya tiga pilihan pelabuhan. Pelabuhan Marina Ancol, Pelabuhan Angke, dan Pelabuhan Muara Kamal (Jakarta Utara). Yang terdekat dengan Pulau Onrust adalah Pelabuhan Mura Kamal. Disana, ada kapal motor yang dapat disewa untuk pergi berkelompok menuju Pulau Onrust dengan jarak tempuh sekitar 30 menit s/d 45 menit. Biaya sewanya Rp 500.000,- s/d Rp 600.000,- perhari, untuk kapasitas 30 orang s/d 40 orang penumpang.
Perjalanan ke Pulau Onrust, lebih baik dilakukan sebelum waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB, sebelum gelombang laut membesar. Sedangkan dari Pulau Onrust menuju ke Pulau Bidadari dan Pulau Cipir, akan sangat menarik dilakukan pada saat hari masih terang dan cerah.
Untuk menikmati matahari terbit dan pemandangan yang indah di sana, lebih baik jika kita berkunjung ke Pulau Kelor pada saat waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB atau sebelum pukul 08.00 WIB. Karena kapal motor akan makin sulit merapat di dermaga kecilnya jika waktu telah lebih dari pukul 09.00 WIB.
(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta)
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Friday, September 29, 2006
Sejarah Kerajaan Timah Tempo Dulu
Pulau yang tanahnya kaya akan sumber daya alam ini, kini telah berdiri sebagai sebuah provinsi. Disebut sebagai Provinsi Bangka Belitung. Walaupun pada usianya yang tergolong masih muda (terbentuk sejak tahun 2000), provinsi ini telah menorehkan sejarah sebagai salah satu pelabuhan yang banyak disinggahi kapal-kapal dagang dan menjadi tempat yang banyak diminati para penguasa karena kekayaan alamnya yang melimpah.
Menurut beberapa catatan sejarah, nama Bangka telah mulai disebut sejak abad ke-7. Tepatnya pada tahun 686 Masehi. Ini sesuai dengan bukti sejarah prasasti Kotakapur yang ditemukan di muara Sungai Mendu, Bangka Barat. Dari penemuan ini, disimpulkan bahwa pada saat itu Pulau Bangka telah menjadi salah satu pelabuhan yang penting dan berkembang menjadi ramai.
Dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang berpengaruh luas hingga ke daratan Asia sebagai kerajaan maritim yang paling lama bertahan di dunia, memberikan bukti-bukti yang menyiratkan, Bangka adalah tempat andalan bagi proses ekspor timah yang pada saat itu telah mulai dikenal dan menjadi sumber mata pencaharian bagi penduduk Bangka dan Kerajaan Sriwijaya.
Bangka, diambil dari kata vanca [wangka] dalam bahasa Sansekerta yang artinya : timah. Makna nama Bangka inilah, yang kemudian memperkuat dugaan bahwa timah telah dikenal sejak masa lampau (pada saat pengaruh Hindu mulai masuk ke wilayah ini), bahkan jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berkuasa di Bangka.
Ketika perdagangan timah mulai menguntungkan, VOC dibawah kepemimpinan Cournelis de Houtman mulai melirik Bangka hingga akhirnya membuat kontrak dagang (pada tahun 1668) dengan sistem monopoli, yaitu bahwa penguasa Bangka dan Belitung mengakui VOC sebagai pelindungnya dan berjanji tidak akan menjalin kerjasama atau berhubungan dengan bangsa-bangsa yang lain. Namun ketika Belanda kalah dalam perangnya melawan Perancis, otomatis seluruh negara jajahan Belanda jatuh ke tangan kekuasaan Inggris, termasuk di dalamnya adalah Pulau Bangka dan Belitung.
Pasukan Inggris di bawah pimpinan Thomas Stanford Raffles, berusaha menundukkan Palembang. Maka, terjadilah perang antara Sultan Palembang melawan tentara Inggris. Bagi Raffless, perang ini lebih sebagai perang untuk memperebutkan timah. Akhirnya Inggris berkuasa di Bangka dan Belitung dalam kurun waktu 4 tahun (1812 s/d 1816). Melalui pernyataan politiknya, Inggris pun mengganti nama Bangka menjadi The Duke of York, dan pelabuhan Belinyu pun diberi nama Port Wellington.
Ketika Belanda berhasil masuk dan mulai berkuasa kembali di Bangka (akhir tahun 1816), VOC mulai mendatangkan banyak pekerja dari negeri Tiongkok untuk dipekerjakan di pertambangan-pertambangan timah Pulau Bangka.
Pada tahun 1873, pertambangan timah di Belitung mulai dibuka dan berproduksi. Belanda mulai memperkuat pengaruhnya. Perlawanan-perlawanan rakyat Bangka Belitung tak pernah urun mudur. Depati Bahrin adalah salah satu tokoh yang terkenal pada masa itu dan diburu Belanda karena keberaniannya melawan Belanda, hingga pihak Belanda mengalami kekalahan di hampir seluruh wilayah Pulau Bangka.
Setelah Depati Bahrin wafat pada tahun 1830an, perjuangannya yang tak pernah luntur untuk melawan kekuasaan Belanda atas Pulau Bangka, tumbuh pula pada diri anaknya yang bernama Depati Amir. Semangat juang melawan kekuasaan Belanda terus berkobar, bahkan walaupun Depati Amir telah wafat dan Republik Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tercatat telah terjadi dua peristiwa heroik yang menasional, yaitu pertempuran di Merbau Airseru (25 November 1945) dan pertempuran di Selat Nasik (14 Desember 1945).
Perkenalan Bangka dengan Lada
Hal lain yang juga mengingatkan kita tentang Bangka, adalah hasil perkebunan sahang (lada) di sana. Beberapa catatan menyatakan bahwa sejarah perkenalan Bangka dengan Lada, diawali oleh Demang Abang Muhammad Ali. Ia adalah orang pertama yang mendatangkan bibit lada ke Bangka (tahun 1860) dari Lingga.
Ladang-ladang sahang (lada) mulai dibuka. Bibit lada mulai banyak ditanam di seputar daerah Pulau Bangka. Terlebih setelah Belanda menyatakan bahwa jika timah telah mulai banyak berkurang, maka lada (sahang) menjadi pengganti penghasilan yang bisa dijakdikan andalan di Pulau Bangka.
Akhirnya pernyataan itu membuat pembukaan ladang sahang semakin luas dan semakin dekat ke daerah pertambangan timah. Lada tumbuh subur dan berkembang dengan baik di tanah pulau ini. Hingga kini, hasil perkebunan lada (sahang) telah banyak menghidupi sebagian besar penduduk yang tinggal di Provinsi Bangka Belitung.
Pantai-pantai nan Elok
Bangka dan Belitung, memiliki kecantikan yang tak tersembunyi. Di sepanjang tepian pulaunya, teruntai pantai-pantai nan elok dipandang mata. Air lautnya yang bergelombang, biru dan jernih. Ikan-ikannya yang menari-nari dipukul ombak, ikut menepi ke pantai. Pasir-pasir dan batu-batu karangnya yang membingkai pantai, jadi suguhan yang mengisi hari-hari dan kehidupan masyarakatnya di sana.
Desa-desa dengan penduduk mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, telah pula melahirkan tradisi dan pola kehidupan yang khas dan unik.
Percampuran etnis antara Melayu dan Tiongkok yang telah berjalan ratusan tahun, membentuk asimilasi budaya yang tetap meninggalkan jejak-jejaknya hingga sekarang.
(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta)
Writer : Ayu N. Andini
Menurut beberapa catatan sejarah, nama Bangka telah mulai disebut sejak abad ke-7. Tepatnya pada tahun 686 Masehi. Ini sesuai dengan bukti sejarah prasasti Kotakapur yang ditemukan di muara Sungai Mendu, Bangka Barat. Dari penemuan ini, disimpulkan bahwa pada saat itu Pulau Bangka telah menjadi salah satu pelabuhan yang penting dan berkembang menjadi ramai.
Dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang berpengaruh luas hingga ke daratan Asia sebagai kerajaan maritim yang paling lama bertahan di dunia, memberikan bukti-bukti yang menyiratkan, Bangka adalah tempat andalan bagi proses ekspor timah yang pada saat itu telah mulai dikenal dan menjadi sumber mata pencaharian bagi penduduk Bangka dan Kerajaan Sriwijaya.
Bangka, diambil dari kata vanca [wangka] dalam bahasa Sansekerta yang artinya : timah. Makna nama Bangka inilah, yang kemudian memperkuat dugaan bahwa timah telah dikenal sejak masa lampau (pada saat pengaruh Hindu mulai masuk ke wilayah ini), bahkan jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berkuasa di Bangka.
Ketika perdagangan timah mulai menguntungkan, VOC dibawah kepemimpinan Cournelis de Houtman mulai melirik Bangka hingga akhirnya membuat kontrak dagang (pada tahun 1668) dengan sistem monopoli, yaitu bahwa penguasa Bangka dan Belitung mengakui VOC sebagai pelindungnya dan berjanji tidak akan menjalin kerjasama atau berhubungan dengan bangsa-bangsa yang lain. Namun ketika Belanda kalah dalam perangnya melawan Perancis, otomatis seluruh negara jajahan Belanda jatuh ke tangan kekuasaan Inggris, termasuk di dalamnya adalah Pulau Bangka dan Belitung.
Pasukan Inggris di bawah pimpinan Thomas Stanford Raffles, berusaha menundukkan Palembang. Maka, terjadilah perang antara Sultan Palembang melawan tentara Inggris. Bagi Raffless, perang ini lebih sebagai perang untuk memperebutkan timah. Akhirnya Inggris berkuasa di Bangka dan Belitung dalam kurun waktu 4 tahun (1812 s/d 1816). Melalui pernyataan politiknya, Inggris pun mengganti nama Bangka menjadi The Duke of York, dan pelabuhan Belinyu pun diberi nama Port Wellington.
Ketika Belanda berhasil masuk dan mulai berkuasa kembali di Bangka (akhir tahun 1816), VOC mulai mendatangkan banyak pekerja dari negeri Tiongkok untuk dipekerjakan di pertambangan-pertambangan timah Pulau Bangka.
Pada tahun 1873, pertambangan timah di Belitung mulai dibuka dan berproduksi. Belanda mulai memperkuat pengaruhnya. Perlawanan-perlawanan rakyat Bangka Belitung tak pernah urun mudur. Depati Bahrin adalah salah satu tokoh yang terkenal pada masa itu dan diburu Belanda karena keberaniannya melawan Belanda, hingga pihak Belanda mengalami kekalahan di hampir seluruh wilayah Pulau Bangka.
Setelah Depati Bahrin wafat pada tahun 1830an, perjuangannya yang tak pernah luntur untuk melawan kekuasaan Belanda atas Pulau Bangka, tumbuh pula pada diri anaknya yang bernama Depati Amir. Semangat juang melawan kekuasaan Belanda terus berkobar, bahkan walaupun Depati Amir telah wafat dan Republik Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tercatat telah terjadi dua peristiwa heroik yang menasional, yaitu pertempuran di Merbau Airseru (25 November 1945) dan pertempuran di Selat Nasik (14 Desember 1945).
Perkenalan Bangka dengan Lada
Hal lain yang juga mengingatkan kita tentang Bangka, adalah hasil perkebunan sahang (lada) di sana. Beberapa catatan menyatakan bahwa sejarah perkenalan Bangka dengan Lada, diawali oleh Demang Abang Muhammad Ali. Ia adalah orang pertama yang mendatangkan bibit lada ke Bangka (tahun 1860) dari Lingga.
Ladang-ladang sahang (lada) mulai dibuka. Bibit lada mulai banyak ditanam di seputar daerah Pulau Bangka. Terlebih setelah Belanda menyatakan bahwa jika timah telah mulai banyak berkurang, maka lada (sahang) menjadi pengganti penghasilan yang bisa dijakdikan andalan di Pulau Bangka.
Akhirnya pernyataan itu membuat pembukaan ladang sahang semakin luas dan semakin dekat ke daerah pertambangan timah. Lada tumbuh subur dan berkembang dengan baik di tanah pulau ini. Hingga kini, hasil perkebunan lada (sahang) telah banyak menghidupi sebagian besar penduduk yang tinggal di Provinsi Bangka Belitung.
Pantai-pantai nan Elok
Bangka dan Belitung, memiliki kecantikan yang tak tersembunyi. Di sepanjang tepian pulaunya, teruntai pantai-pantai nan elok dipandang mata. Air lautnya yang bergelombang, biru dan jernih. Ikan-ikannya yang menari-nari dipukul ombak, ikut menepi ke pantai. Pasir-pasir dan batu-batu karangnya yang membingkai pantai, jadi suguhan yang mengisi hari-hari dan kehidupan masyarakatnya di sana.
Desa-desa dengan penduduk mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, telah pula melahirkan tradisi dan pola kehidupan yang khas dan unik.
Percampuran etnis antara Melayu dan Tiongkok yang telah berjalan ratusan tahun, membentuk asimilasi budaya yang tetap meninggalkan jejak-jejaknya hingga sekarang.
(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta)
Writer : Ayu N. Andini
Wednesday, September 27, 2006
Menengok Layang-layang Berusia 4000 tahun
Melestarikan tradisi bukan hal yang terlalu rumit. Dengan latar belakang kegemarannya bermain layang-layang hingga kemudian mengoleksi aneka layang-layang dari berbagai daerah, Endang W. Puspoyo berinisiatif untuk mendirikan Museum Layang-layang Indonesia sebagai salah satu bentuk kepeduliannya terhadap pelestarian budaya Indonesia.
Tak banyak yang tahu tentang Museum Layang-layang Indonesia. Menempati area seluas 3000 meter persegi di lokasi selatan Jakarta tepatnya di Jl. H. Kamang No. 38, Pondok Labu, museum ini memang tak nampak terlalu mencolok. Karena letaknya berjarak kurang lebih 1 km dari jalan raya Pondok Labu.
Dalam satu area yang luas dan asri ini, ada beberapa pendopo didirikan di sana. Ruang yang berada paling depan, adalah kantor pengelola Museum Layang-layang Indonesia. Sedikit ke dalam, di sebelah kirinya terdapat beberapa kavling tempat workshop keramik dan produksi layang-layang. Ditengah area, berdiri pendopo utama. Di sana adalah tempat para pengunjung dapat menonton beberapa film dokumenter layang-layang. Lalu pada aula depan di pendopo kedua, ada berbagai bentuk dan aneka warna layangan berukuran setinggi palang-palang pintu dan ada pula yang digantung pada rangka langit-langit pendopo (karena ukurannya yang sangat besar). Di sana terdapat sebuah pintu gerbang dengan palang berukir, tingginya seukuran tubuh manusia. Melangkah masuk ke dalam, berarti kita sedang berada dalam ruang museum layang-layang.
Tak perlu biaya terlalu mahal. Cukup dengan Rp 10.000,- per orang, semua pengunjung bisa masuk ke dalamnya, memandangi aneka bentuk dan warna layang-layang se-Indonesia. Bahkan ada pula layang-layang dari Cina, Korea, dan Jepang.
Selain memandangi layang-layang nan cantik yang berjumlah sekitar 500 buah, pengunjung juga dapat menonton beberapa film dokumenter tentang layang-layang, belajar cara pembuatan layang-layang, dan menerbangkannya di pelataran halaman museum ini.
Pengunjung pun tak dibatasi oleh usia. Sudah ada beberapa pengunjung dari luar negeri yang sengaja datang ke museum ini untuk mengenal layang-layang Indonesia.
Tertua di Dunia
Usianya mungkin lebih dari 4000 tahun, panjangnya mencapai 1,30 meter dengan lebar 1,20 meter. Warnanya pun dominan hijau daun. Sisi-sisinya segitiga berbentuk seperti berlian. Yang terpajang pada dinding museum adalah duplikat dari bentuk layang-layang tertua di Indonesia. Bentuk duplikat layang-layang tertua ini diperoleh berdasarkan penelitian terhadap tradisi dan budaya orang-orang yang hidup di daerah Muna, Sulawesi Tenggara pada jaman dibuatnya lukisan-lukisan di gua Muna.
Menurut penelitian para ahli sejarah, penemuan lukisan-lukisan pada dinding-dinding gua Muna, Sulawesi Tenggara adalah bukti sejarah tentang tradisi layang-layang di Indonesia. Ditaksir, lukisan ini berumur lebih dari 4000 tahun. Ada gambar-gambar seperti kelabang, pohon pisang, meteor, dan diantara semua itu terdapat gambar orang yang sedang bermain layang-layang. “Kami juga ada foto lukisan di gua Muna, Sulawesi Tenggara,” ujar Supriyadi, tour guide Museum Layang-layang turut menjelaskan.
Layang-layang tertua ini terbuat dari jalinan daun gadung yang teksturnya tipis dan ringan namun berserat tebal tak mudah sobek. Rangkanya terbuat dari bambu dan bagian belakangnya dilapisi oleh kulit pohon waru agar layang-layang ini kuat menahan terpaan angin.
“Di desa Muna, Sulawesi Tenggara, mereka memainkan layang-layang tradisonal ini. Semua bahannya, rangka, badan, hingga benangnya terbuat dari tumbuh-tumbuhan. Karena pada masa itu mereka belum mengenal kertas dan benang seperti kita sekarang, maka mereka menggunakan bahan-bahan natural. Benang yang dipakai juga terbuat dari serat daun nenas atau dari kulit pohon waru,” papar Supriyadi.
Pada bagian kepala belakang layang-layang ini, dikaitkan sebilah bambu kecil yang melengkung menarik seutas daun lontar hingga berbentuk seperti busur. Jika layang-layang terbang di udara, maka terpaan angin akan meniup kuat daun lontar itu hingga berbunyi kencang, “kowang..kowang…kowang.” Oleh sebab itulah, bilahan bambu itu disebut kowangan.
Dari Seluruh Indonesia
Bentuk layang-layang tertua ini, sepertinya banyak diadaptasi oleh beberapa daerah di Indonesia. Dari sekian banyak layang-layang dalam museum ini, ada pula layang-layang dari daerah Kalimantan Selatan. Dipajang dalam museum dan digantung berdiri. Panjangnya hingga mencapai pucuk atap ruangan. Namanya, Dandang Laki. Kata dandang, diambil dari sebutan alat memasak nasi di daerah Kalimantan Selatan. Dandang juga dianggap sebagai simbol kemakmuran.
Layang-layang Dandang Laki yang berwarna merah muda ini, punya pasangan sejodoh, yaitu layang-layang Dandang Bini, yang berwarna hijau gelap. Dua layang-layang ini biasanya diterbangkan pada masa sehabis panen, di tengah lahan sawah pada musim panas. Dengan pengharapan, agar musim panen selanjutnya membawa kemakmuran bagi penduduk di sana.
Pada layang-layang Dandang Laki, alat kowangan yang dipakai adalah dua bilah bambu yang dikaitkan pada rangka kepala sisi kiri dan kanannya. Bambu dengan ukuran diameter kira-kira 10 cm ini, bentuknya seperti kentongan. Ada celah dibuat membujur di tengahnya. Jika layang-layang Dandang Laki diterbangkan dengan hembusan angin yang cukup kencang, bunyinya bisa terdengar sejauh 1 km.
Ada juga layang-layang dari Lampung. Layang-layang Siger yang cantik ini, terbuat dari kain parasut yang dilukis dengan cat berwarna biru laut, dan dibubuhi bubuk-bubuk berwarna emas pada gambar motif ditengahnya. “Sebenarnya bentuknya mirip dengan daerah lain, tapi yang membedakan itu bentuk kepala, motifnya, dan ekornya. Ini khasnya lampung, kepalanya melingkar seperti ini meniru bentuk sengat binatang ngengat. Dan motifnya ini adalah bentuk mahkota pengantin perempuan Lampung. Nama mahkotanya itu, Siger,” ujar Supriyadi.
Yang unik dari Lampung, menurut tradisi di sana layang-layang juga digunakan sebagai alat bantu untuk memancing ikan. Ada jenis layang-layang lain selain Layang-layang Siger. Ukurannya tak terlalu besar. Layang-layang ini pada awalnya, terbuat dari daun Loko-loko, sejenis tumbuhan pakis. Daun ini diikatkan pada rangka dari bambu. Diterbangkan untuk membawa umpan pancingan lebih jauh dari kapal. Jika layang-layang ini bergerak dan getaran benangnya terasa hingga ke tangan nelayan, berarti ujung umpan telah menjerat ikan. Sekarang, tradisi ini masih berjalan. Bahan dari daun Loko-loko diganti menjadi plastik. Tujuannya agar layang-layang tak mudah rusak bila terkena air laut.
Dari tanah Rencong, Nangroe Aceh Darussalam, ada layangan Beseh berwarna warni sepanjang 4 meter dan digantung pada salah satu tiang ruang museum. Berdekatan dengan layang-layang Beseh, ada pula layang-layang asli Aceh yang terbuat dari anyaman daun pandan.
Layang-layang tradisional dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat punya bentuk memanjang. Warnanya kuning kecoklatan dengan beberapa gambar berwarna di tengahnya. Supriyadi memberikan penjelasan, “Mereka membuatnya dari batang pohon pisang. Dibuat tipis, dijemur hingga kering, lalu dibuat menjadi layang-layang dan dilukis.”
Dari Jawa Barat, layang-layang kerap disebut papetengan. Di tengahnya, dilukis gambar Cepot, salah satu tokoh wayang golek terkenal di sana. Sedangkan dari Bali, layang-layang di sana pada awalnya menggunakan bahan dari daun dadap. Layangan ini juga dipajang dekat dengan layang-layang dari Sumbawa.
Di ruang aula museum, ada beberapa layangan berukuran besar berbagai bentuk. Layang-layang Lenbulenan dari Madura, dipajang didekat pintu masuk ruang museum. Ada juga layang-layang berbentuk kereta kencana (lengkap dengan kudanya), naga, kapal laut, dan masih banyak lagi.
Layang-layang Terkecil di Dunia
Selain koleksi layang-layang seluruh Indonesia, museum ini juga memamerkan beberapa koleksi layang-layang terkecil dari Cina. Ada yang berbentuk kumbang berukuran 2 cm, dan ada juga yang berbentuk burung camar berukuran 2,5 cm. Terbuat dari bahan kertas lengkap dengan warna warni lukisan kumbang dan camarnya. Ruas rangkanya pun dari bambu kecil. Diterbangkan dengan cara yang sama seperti menerbangkan layang-layang ukuran normal (25 s/d 30 cm). Namun benang yang digunakan pun sangatlah tipis. Lebih tipis dari utas benang jahit biasa.
Mengenal Layang-layang
Dari ragam layang-layang yang dipajang, ternyata ada tiga kategori besar yang dimiliki Museum Layang-Layang Indonesia. “Layang-layang ini, ada tiga kategori. Layang-layang tradisional, layang-layang kreasi (dua dimensi dan tiga dimensi), serta layang-layang yang termasuk dalam jenis sport kite,” tegasnya. Layang-layang jenis sport kite, membutuhkan banyak gerak tubuh dan kekuatan untuk mengendalikannya. Alat bantu yang biasanya dipakai untuk menerbangkan sport kite, adalah sepeda boogy. Sepeda kecil pendek roda tiga ini selain membantu mengendalikan arah terbang layang, juga berfungsi sebaliknya. Pengendali yang menaiki sepeda boogy, dapat bergerak maju karena ditarik oleh kekuatan terbang layang-layangnya.
“Salah satunya yaitu jenis quadrofoilled. Itu artinya, ada empat benang. Dua di sebelah kiri, dan dua di sebelah kanan. Membutuhkan dua orang dewasa untuk mengendalikannya,” ucap Supriyadi.
Berkunjung ke Museum Layang-layang Indonesia, berarti juga berkenalan dengan dunia layang-layang. Selain melihat aneka bentuk dan warna layang-layang serta mengenal sekelumit sejarah layang-layang di Indonesia, pengunjung pun diajak untuk belajar tehnik pembuatan layang-layang.
.....Kuambil buluh sebatang
Kupotong sama panjang
Kuraut dan kutimbang dengan benang
Kujadikan layang-layang ….
Kurang lebih, cara-cara pembuatannya memang seperti yang tertera pada lirik lagu Layang-layang ini. Untuk membuat layang-layang dengan bentuk paling sederhana, bahan-bahan yang dibutuhkan adalah dua bilah bambu kecil yang sudah diraut, benang, lem, kertas, serta kuas dan beberapa warna cat untuk melukis.
Layang-layang yang telah selesai dibuat, dapat langsung dicoba untuk diterbangkan di pelataran halaman museum. Atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta).
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Monday, September 25, 2006
Kembang Randu
Berlibur ke rumah nenek. Ini bukan judul karangan setelah musim liburan. Ini cuma ingatan di kepalaku yang membuatku lebih cepat menyelesaikan bab ke-5. Bab terakhir skripsi yang tertunda beberapa bulan karena lebih senang cari uang daripada bikin skripsi.
Kepergian terakhir dua minggu yang lalu, seperti pemicu. Pasalnya, setelah tanya sana tanya sini, sejak dulu belum ada yang pernah ditugaskan untuk meliput di lokasi itu. Ke Pabrik Minyak Wangi. Dan ketika semua bahan liputanku sudah rampung, ada PakZamroni yang datang mengetuk kamarku.
“Maaf, pak. Cuma sebentar saja. Siapa tahu, ini bisa jadi bahan tulisan bapak nanti. Sebab saya dengar dari orang-orang disini, bapak ini wartawan ya?” ucapnya sambil menggulung lengan bajunya.
“Ada yang mau saya bicarakan, pak. Penting. Bisa?”
“Dengar-dengar kabar, bapak sedang meliput di pabrik minyak wangi ini ya? Saya juga sering papasan di jalan dengan bapak. Tapi bapak pasti tidak perhatikan saya kan? Saya ini, yang punya sawah di sebelah timur pabrik minyak wangi itu. Begini pak,….,” ia menyulut rokok klobotnya dan asapnya penuh di ruang kamarku yang baru saja kusemprot pewangi ruangan karena ada bau tak sedap yang datang ke dalamnya. Asalnya, entah dari mana.
Sudah berpuluh tahun, tak seorangpun hirau dengan bau tak sedap yang selalu mampir di hidung setiap orang di sini. Katanya, belum ada wartawan yang mampir ke sini. Katanya, tak ada pula penduduk yang berani membicarakan hal ini terang-terangan. Sepertinya masalah ini sudah bagai jarum yang bersembunyi di bawah jerami.
“Saya bicara tidak atas nama siapa-siapa pak. Ini atas nama pribadi. Sudah lama kami merasa tak puas dengan hasil panen tiap tahunnya. Karena limbah ini,” ujarnya dengan wajah yang berlipat-lipat. Tertutup kepul asap klobot.
Tapi besok, rombongan kepala desa akan ke kota dan aku terpaksa harus turut serta. Belum ada angkutan desa kecuali Odong-Odong, yang datang cuma tiga kali sehari. Rombongan kepala desa berencana akan mengenalkanku pada camat dan bupati mereka. Itu, besok pagi!
Sudah kukatakan semua padanya, “Besok pagi, saya harus pulang.”
“Lalu bagaimana dengan kami, Pak? Tidak bisa bantu? Berarti tak ada lagi yang bisa bantu kami. Sebenarnya kami cuma ingin bulir-bulir padi hasil panen tahun berikutnya tidak kurus-kurus lagi….,” ia menghempaskan pecinya ke mejaku dan debu rokok klobotnya terbang hingga kemana-mana. Mejaku jadi abu-abu….
Lalu kubilang padanya, supaya kembali pulang ke rumah dan tenangkan dirinya. Ini agar aku punya waktu berpikir lebih lama. Sekarang sudah pukul 3 dini hari. Tiga jam kemudian, sudah harus bersiap ke kota.
“Maaf, pak. Sepertinya saya tidak jadi pulang ke Jakarta hari ini. Saya butuh satu minggu lagi, untuk sekalian liputan potensi daerah sini. Tidak masalah kan, bapak-bapak?” kuputuskan saja seperti ini. Biar cepat. Sudah untung cuma seminggu, tidak sebulan.
Diluar dugaan, mereka malah mendukung dan menyambut baik niatku itu. Apa boleh buat, semuanya harus diteruskan. Caranya? Kita lihat saja besok.
Dari awal kedatanganku di kampung ini, sudah tampak ada keanehan. Sehari setelah kulihat hasil-hasil foto lanscape Pabrik Minyak Wangi, rasanya ada yang tidak pas. Entah apa, aku tidak hirau. Itu tidak pernah jadi hal yang penting untuk terus diulik-ulik. Yang terjadi, sesi pengambilan foto landscape diulang hingga tiga kali. Dan ini tidak benar-benar jadi bahan pikiran penting.
Sampai ketika pak Zamroni datang tengah malam itu. Semuanya harus ditilik ulang. Tapak-tapak ingatanku berjalan mundur, sampai ke satu titik untuk bisa memulai semuanya dari awal lagi : “Ke sawah di samping tembok besar Pabrik Minyak Wangi. Di sana ada gerbang masuk pegawai pabrik dan jalan tanah yang biasa dilewati para buruh pabrik, truk-truk pengangkut, dan mobil pemilik pabrik ini,” pikirku.
Hari pertama, berkunjung ke rumah supir truk Pabrik Minyak Wangi. Kupilih waktu: menjelang senja. Karena saat itu, orang-orang di sini menutup jendela dan pintu-pintunya rapat-rapat agar semua roh-roh jahat yang berkeliaran saat menjelang senja, tak mengganggu mimpi-mimpi mereka ketika tidur. Jalanan sudah sepi. Aku hanya berpapasan dengan beberapa orang pencari rumput dan buruh-buruh Pabrik Minyak Wangi. Sebagian dari mereka, aku kenal.
Tak sulit menemukan alamat Jakun, supir pabrik itu. Besok pagi aku membuat janji dengannya untuk menjemputku ke pabrik dan masuk lewat gerbang belakang.
Hari ke-2, keberuntungan dibuka untukku. Dari keterangan Jakun yang ternyata juga bekerja sebagai pengontrol pipa saluran buangan limbah, jalur pipanya mengarah ke sungai di sebelah selatan Pabrik Minyak Wangi.
“Itu sungai utama yang lewat di kampung sini. Semua petani sini sudah tahu itu sejak dulu. Air sungainya jadi berbau. Warnanya, membiru kehitaman. Tak bisa dipakai cuci dan mandi lagi. Sebagian besar alirannya masuk ke area persawahan penduduk. Bapak pernah mencium bau busuk di ruang kamar Bapak kan? Itu bau limbah!” Suara Pak Zamroni meninggi, lalu klobotnya mengepul-ngepul tak henti. “Aliran limbahnya masuk ke sawahku, Pak.”
Hari ke-3, ikuti Jakun mengontrol pipa buangan limbah. Sampai di sini, semuanya kuputuskan untuk jadi rahasia kami berdua. Pipa yang dibuat tahun 1982 itu, sudah bocor sana sini. Tidak terawat. Jakun bukan perawatnya. Ia cuma pengontrol. Pipa bocor, tinggal ditambal. Stok foto, sudah penuh dengan gambar-gambar cipratan air biru tua dari lubang-lubang bocoran pipa dan rembesan-rembesannya ke tanah sawah di sekitar Pabrik Minyak Wangi.
Hari ke-4, terpaksa mengendap-endap di semak-semak hampir seharian penuh! Sembunyi setiap kali orang melintas jembatan sungai.
Air sungai biru tua. Namanya bagus, tapi tidak dengan keadaannya. Baunya itu mak! Busuk menusuk hidung dan paru-paru. Syal pemberian Koro, sahabatku si tukang ngorok itu, kukenakan jadi penutup hidung. Tak tahan! Jaring ikan yang kupinjam dari Zamroni, tak membuahkan hasilnya. Cuma rumput-rumput kering warna biru tua yang penuhi jaring.
“Tidak akan ada yang mau tinggal di dalamnya,” ujar Jakun pahit.
Kami pulang dengan diam.
Hari ke-5, aku menitipkan foto-foto hasil bidikan selama 4 hari kepada Pak Dirja untuk dikirimkan ke Jakarta. Beliau adalah induk semangku selama aku tinggal di desa ini. Paginya, Pak Dirja akan ke kota menumpang truknya si Jakun.
Malam itu, kudatangi rumah Zamroni. Bicara-bicara masalah hasil panen sawahnya sejak tahun 1983, semalam suntuk. Lalu tertidur di bale-bale depan rumahnya. Aku terbangun karena udara dingin menusuk sumsum tulang. Ini subuh, hari terakhirku di tempat ini.
Sampai di kota, yang pertama kukontak adalah Koro.
“Ro, kirimanku udah sampai belum? Kukirim kemarin, pakai titipan kilat.”
Hasil foto investigasi ini berderet penuh di dalam kamar gelapku. Tidak ada yang indah. Melihat gambar biru hitamnya sungai itu, seperti ada bau yang sampai ke indera penciumanku. Aku muntah di dekat kursi.
“Buat apaan sih? Udah nggak ada hubungannya ama kamu, tau nggak!”
Baru kali ini kulihat si Koro mukanya jadi makin jelek.
“Terus, udah begini, mau diapain? Lapor polisi? Hihihi…lucu!”
Nah! Koro mulai skeptis, sambil korek-korek telinga dan mulutnya manyun-manyun. Dia duduk meringkuk di kursi rotan.
Aku cuma ingin menulis. Tidak lebih, tidak kurang.
Sekarang, semua sudah rampung.
Tulisanku sudah terbit di media cetak ternama se-Indonesia, foto-fotonya juga tampil kontras di dekat foto pemenang kontes kecantikan tahun ini. Padanan yang tidak sedap dipandang mata.
Sehari setelah terbit, puluhan kali ponselku berbunyi setiap selang 2 menit. Penelepon pada jam 6 hingga 10 pagi, masih terlayani dengan ramah. Lama-lama, kepalaku seperti dipukul-pukul.
“Standar. Namanya juga artikel sensasional. Pasti kamu akan didera begitu sampai mereka semua bosan ama tulisanmu yang konyol itu,” kata Koro, sahabatku yang selalu ingin jadi artis tapi belum kesampaian.
“Udah kayak seleb aja, ih!”
Nah! Dia cemburu kan!
Dari semua berita yang kutahu, akhirnya ada peninjauan dari DPR ke Kampung Tiga. Ke Pabrik Minyak Wangi. Ke air sungai biru tua. Ke sawah penduduk termasuk sawahnya Zamroni.
“Terima kasih, pak. Ini ada oleh-oleh dari saya dan teman-teman di sana. Cuma sedikit saja. Tidak apa ya?” Zamroni menyuruh kuli angkutnya untuk bongkar muat di garasi kantor. Isinya: kelapa 20 butir, ayam jago 5 ekor, ayam-ayam betina yang gemuk-gemuk ada 4 ekor, pisang mangkel 8 tandan, dan beras Kampung Tiga sebanyak 2 karung.
Ini semua, untuk artikel pendek yang hanya 3 kolom, muncul di halaman akhir, dengan jumlah kata tak lebih dari 500.
Ini semua, ungkapan terima kasih yang akan kusimpan sepanjang zaman. Yang kurasakan ini, haru.
Sudah sebulan kupingku terlalu kenyang dengan pujian-pujian dari teman-teman sejawat. Sudah mulai terasa muak. Artikel tentang Pabrik Minyak Wangi, kutulis dengan isi yang tidak ‘seharum’ produk-produknya. Telah kubatalkan semua pekerjaan kantorku. Telah kutolak keinginan redakturku. Aku, di pecat.
Tidak ada sedikit pun selipan benci dan sesal dalam hati dan pikiranku. Malam itu aku mulai membuka file-file skripsiku. Dan menulis seperti tak ingin berhenti. Sama dengan kerinduan pada bau pekarangan rumah di Malang Selatan. Melesat cepat padati pandangan mata dan segala indera.
Sekarang bukan Mei lagi. Kusobek lembarnya dan kujadikan alas di rak lemari pakaian.
Bulan Juni, di Ngliyep sedang bagus. Ikan-ikan kecilnya banyak berenang ke bibir pantai lalu mampir ke sela-sela batu karang. Ombaknya tinggi berdiri, bisa menelan batu-batu karang. Meluncur ke pantai, membawa pasir dan kerang-kerang kumang singgah ke daratan.
Anginnya akan menepuk kencang air laut dan rimbunan bambu. Cuacanya yang dingin dapat menjadi lebih dingin. Orang menyebutnya Bediding. Saat dimana pohon-pohon randu mulai berbunga. Dan usai itu, muncul Lemareng. Masa-masa setelah Rendeng dan beberapa waktu sebelum masa Ketigo.
Saat itu, aku biasa mendengar bunyi serangga Gareng jadi teman merdu pengantar tidur dan kawani semua malam-malamku selama pancaroba di sana. Kembang-kembang randu akan ada yang jatuh di atas bale-bale.
Rinduku berlari lebih kencang dari angin laut.
Malang Selatan, memang tak pernah ingin pergi dariku.
Jakarta, 16 Juni 2006
Writer : Ayu N. Andini
Kepergian terakhir dua minggu yang lalu, seperti pemicu. Pasalnya, setelah tanya sana tanya sini, sejak dulu belum ada yang pernah ditugaskan untuk meliput di lokasi itu. Ke Pabrik Minyak Wangi. Dan ketika semua bahan liputanku sudah rampung, ada PakZamroni yang datang mengetuk kamarku.
“Maaf, pak. Cuma sebentar saja. Siapa tahu, ini bisa jadi bahan tulisan bapak nanti. Sebab saya dengar dari orang-orang disini, bapak ini wartawan ya?” ucapnya sambil menggulung lengan bajunya.
“Ada yang mau saya bicarakan, pak. Penting. Bisa?”
“Dengar-dengar kabar, bapak sedang meliput di pabrik minyak wangi ini ya? Saya juga sering papasan di jalan dengan bapak. Tapi bapak pasti tidak perhatikan saya kan? Saya ini, yang punya sawah di sebelah timur pabrik minyak wangi itu. Begini pak,….,” ia menyulut rokok klobotnya dan asapnya penuh di ruang kamarku yang baru saja kusemprot pewangi ruangan karena ada bau tak sedap yang datang ke dalamnya. Asalnya, entah dari mana.
Sudah berpuluh tahun, tak seorangpun hirau dengan bau tak sedap yang selalu mampir di hidung setiap orang di sini. Katanya, belum ada wartawan yang mampir ke sini. Katanya, tak ada pula penduduk yang berani membicarakan hal ini terang-terangan. Sepertinya masalah ini sudah bagai jarum yang bersembunyi di bawah jerami.
“Saya bicara tidak atas nama siapa-siapa pak. Ini atas nama pribadi. Sudah lama kami merasa tak puas dengan hasil panen tiap tahunnya. Karena limbah ini,” ujarnya dengan wajah yang berlipat-lipat. Tertutup kepul asap klobot.
Tapi besok, rombongan kepala desa akan ke kota dan aku terpaksa harus turut serta. Belum ada angkutan desa kecuali Odong-Odong, yang datang cuma tiga kali sehari. Rombongan kepala desa berencana akan mengenalkanku pada camat dan bupati mereka. Itu, besok pagi!
Sudah kukatakan semua padanya, “Besok pagi, saya harus pulang.”
“Lalu bagaimana dengan kami, Pak? Tidak bisa bantu? Berarti tak ada lagi yang bisa bantu kami. Sebenarnya kami cuma ingin bulir-bulir padi hasil panen tahun berikutnya tidak kurus-kurus lagi….,” ia menghempaskan pecinya ke mejaku dan debu rokok klobotnya terbang hingga kemana-mana. Mejaku jadi abu-abu….
Lalu kubilang padanya, supaya kembali pulang ke rumah dan tenangkan dirinya. Ini agar aku punya waktu berpikir lebih lama. Sekarang sudah pukul 3 dini hari. Tiga jam kemudian, sudah harus bersiap ke kota.
“Maaf, pak. Sepertinya saya tidak jadi pulang ke Jakarta hari ini. Saya butuh satu minggu lagi, untuk sekalian liputan potensi daerah sini. Tidak masalah kan, bapak-bapak?” kuputuskan saja seperti ini. Biar cepat. Sudah untung cuma seminggu, tidak sebulan.
Diluar dugaan, mereka malah mendukung dan menyambut baik niatku itu. Apa boleh buat, semuanya harus diteruskan. Caranya? Kita lihat saja besok.
Dari awal kedatanganku di kampung ini, sudah tampak ada keanehan. Sehari setelah kulihat hasil-hasil foto lanscape Pabrik Minyak Wangi, rasanya ada yang tidak pas. Entah apa, aku tidak hirau. Itu tidak pernah jadi hal yang penting untuk terus diulik-ulik. Yang terjadi, sesi pengambilan foto landscape diulang hingga tiga kali. Dan ini tidak benar-benar jadi bahan pikiran penting.
Sampai ketika pak Zamroni datang tengah malam itu. Semuanya harus ditilik ulang. Tapak-tapak ingatanku berjalan mundur, sampai ke satu titik untuk bisa memulai semuanya dari awal lagi : “Ke sawah di samping tembok besar Pabrik Minyak Wangi. Di sana ada gerbang masuk pegawai pabrik dan jalan tanah yang biasa dilewati para buruh pabrik, truk-truk pengangkut, dan mobil pemilik pabrik ini,” pikirku.
Hari pertama, berkunjung ke rumah supir truk Pabrik Minyak Wangi. Kupilih waktu: menjelang senja. Karena saat itu, orang-orang di sini menutup jendela dan pintu-pintunya rapat-rapat agar semua roh-roh jahat yang berkeliaran saat menjelang senja, tak mengganggu mimpi-mimpi mereka ketika tidur. Jalanan sudah sepi. Aku hanya berpapasan dengan beberapa orang pencari rumput dan buruh-buruh Pabrik Minyak Wangi. Sebagian dari mereka, aku kenal.
Tak sulit menemukan alamat Jakun, supir pabrik itu. Besok pagi aku membuat janji dengannya untuk menjemputku ke pabrik dan masuk lewat gerbang belakang.
Hari ke-2, keberuntungan dibuka untukku. Dari keterangan Jakun yang ternyata juga bekerja sebagai pengontrol pipa saluran buangan limbah, jalur pipanya mengarah ke sungai di sebelah selatan Pabrik Minyak Wangi.
“Itu sungai utama yang lewat di kampung sini. Semua petani sini sudah tahu itu sejak dulu. Air sungainya jadi berbau. Warnanya, membiru kehitaman. Tak bisa dipakai cuci dan mandi lagi. Sebagian besar alirannya masuk ke area persawahan penduduk. Bapak pernah mencium bau busuk di ruang kamar Bapak kan? Itu bau limbah!” Suara Pak Zamroni meninggi, lalu klobotnya mengepul-ngepul tak henti. “Aliran limbahnya masuk ke sawahku, Pak.”
Hari ke-3, ikuti Jakun mengontrol pipa buangan limbah. Sampai di sini, semuanya kuputuskan untuk jadi rahasia kami berdua. Pipa yang dibuat tahun 1982 itu, sudah bocor sana sini. Tidak terawat. Jakun bukan perawatnya. Ia cuma pengontrol. Pipa bocor, tinggal ditambal. Stok foto, sudah penuh dengan gambar-gambar cipratan air biru tua dari lubang-lubang bocoran pipa dan rembesan-rembesannya ke tanah sawah di sekitar Pabrik Minyak Wangi.
Hari ke-4, terpaksa mengendap-endap di semak-semak hampir seharian penuh! Sembunyi setiap kali orang melintas jembatan sungai.
Air sungai biru tua. Namanya bagus, tapi tidak dengan keadaannya. Baunya itu mak! Busuk menusuk hidung dan paru-paru. Syal pemberian Koro, sahabatku si tukang ngorok itu, kukenakan jadi penutup hidung. Tak tahan! Jaring ikan yang kupinjam dari Zamroni, tak membuahkan hasilnya. Cuma rumput-rumput kering warna biru tua yang penuhi jaring.
“Tidak akan ada yang mau tinggal di dalamnya,” ujar Jakun pahit.
Kami pulang dengan diam.
Hari ke-5, aku menitipkan foto-foto hasil bidikan selama 4 hari kepada Pak Dirja untuk dikirimkan ke Jakarta. Beliau adalah induk semangku selama aku tinggal di desa ini. Paginya, Pak Dirja akan ke kota menumpang truknya si Jakun.
Malam itu, kudatangi rumah Zamroni. Bicara-bicara masalah hasil panen sawahnya sejak tahun 1983, semalam suntuk. Lalu tertidur di bale-bale depan rumahnya. Aku terbangun karena udara dingin menusuk sumsum tulang. Ini subuh, hari terakhirku di tempat ini.
Sampai di kota, yang pertama kukontak adalah Koro.
“Ro, kirimanku udah sampai belum? Kukirim kemarin, pakai titipan kilat.”
Hasil foto investigasi ini berderet penuh di dalam kamar gelapku. Tidak ada yang indah. Melihat gambar biru hitamnya sungai itu, seperti ada bau yang sampai ke indera penciumanku. Aku muntah di dekat kursi.
“Buat apaan sih? Udah nggak ada hubungannya ama kamu, tau nggak!”
Baru kali ini kulihat si Koro mukanya jadi makin jelek.
“Terus, udah begini, mau diapain? Lapor polisi? Hihihi…lucu!”
Nah! Koro mulai skeptis, sambil korek-korek telinga dan mulutnya manyun-manyun. Dia duduk meringkuk di kursi rotan.
Aku cuma ingin menulis. Tidak lebih, tidak kurang.
Sekarang, semua sudah rampung.
Tulisanku sudah terbit di media cetak ternama se-Indonesia, foto-fotonya juga tampil kontras di dekat foto pemenang kontes kecantikan tahun ini. Padanan yang tidak sedap dipandang mata.
Sehari setelah terbit, puluhan kali ponselku berbunyi setiap selang 2 menit. Penelepon pada jam 6 hingga 10 pagi, masih terlayani dengan ramah. Lama-lama, kepalaku seperti dipukul-pukul.
“Standar. Namanya juga artikel sensasional. Pasti kamu akan didera begitu sampai mereka semua bosan ama tulisanmu yang konyol itu,” kata Koro, sahabatku yang selalu ingin jadi artis tapi belum kesampaian.
“Udah kayak seleb aja, ih!”
Nah! Dia cemburu kan!
Dari semua berita yang kutahu, akhirnya ada peninjauan dari DPR ke Kampung Tiga. Ke Pabrik Minyak Wangi. Ke air sungai biru tua. Ke sawah penduduk termasuk sawahnya Zamroni.
“Terima kasih, pak. Ini ada oleh-oleh dari saya dan teman-teman di sana. Cuma sedikit saja. Tidak apa ya?” Zamroni menyuruh kuli angkutnya untuk bongkar muat di garasi kantor. Isinya: kelapa 20 butir, ayam jago 5 ekor, ayam-ayam betina yang gemuk-gemuk ada 4 ekor, pisang mangkel 8 tandan, dan beras Kampung Tiga sebanyak 2 karung.
Ini semua, untuk artikel pendek yang hanya 3 kolom, muncul di halaman akhir, dengan jumlah kata tak lebih dari 500.
Ini semua, ungkapan terima kasih yang akan kusimpan sepanjang zaman. Yang kurasakan ini, haru.
Sudah sebulan kupingku terlalu kenyang dengan pujian-pujian dari teman-teman sejawat. Sudah mulai terasa muak. Artikel tentang Pabrik Minyak Wangi, kutulis dengan isi yang tidak ‘seharum’ produk-produknya. Telah kubatalkan semua pekerjaan kantorku. Telah kutolak keinginan redakturku. Aku, di pecat.
Tidak ada sedikit pun selipan benci dan sesal dalam hati dan pikiranku. Malam itu aku mulai membuka file-file skripsiku. Dan menulis seperti tak ingin berhenti. Sama dengan kerinduan pada bau pekarangan rumah di Malang Selatan. Melesat cepat padati pandangan mata dan segala indera.
Sekarang bukan Mei lagi. Kusobek lembarnya dan kujadikan alas di rak lemari pakaian.
Bulan Juni, di Ngliyep sedang bagus. Ikan-ikan kecilnya banyak berenang ke bibir pantai lalu mampir ke sela-sela batu karang. Ombaknya tinggi berdiri, bisa menelan batu-batu karang. Meluncur ke pantai, membawa pasir dan kerang-kerang kumang singgah ke daratan.
Anginnya akan menepuk kencang air laut dan rimbunan bambu. Cuacanya yang dingin dapat menjadi lebih dingin. Orang menyebutnya Bediding. Saat dimana pohon-pohon randu mulai berbunga. Dan usai itu, muncul Lemareng. Masa-masa setelah Rendeng dan beberapa waktu sebelum masa Ketigo.
Saat itu, aku biasa mendengar bunyi serangga Gareng jadi teman merdu pengantar tidur dan kawani semua malam-malamku selama pancaroba di sana. Kembang-kembang randu akan ada yang jatuh di atas bale-bale.
Rinduku berlari lebih kencang dari angin laut.
Malang Selatan, memang tak pernah ingin pergi dariku.
Jakarta, 16 Juni 2006
Writer : Ayu N. Andini
Sunday, September 24, 2006
Matter of Course
Mimpinya seperti gelembung-gelembung udara yang naik ke awan
lalu pecah, airnya tumpah jadi gerimis kecil.
Kembang-kembang rambutan yang tadinya akan menjadi buah,
rontok dipukul angin.
Semua cahaya terang,
pergi mendadak karena terusir awan gelap yang menggantung di bibir langit.
Apel hijau yang segar itu jadi kisut,
menciut tersiram hujan dan dipeluk dingin sepanjang malam.
Yang lestari,
cuma bahasa.
Bukan cinta.
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Monday, September 18, 2006
Pulau Onrust, Pulau yang Sibuk Kini telah Istirahat
(keterangan foto: di puing-puing bangunan bekas asrama haji thn 1911 di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu)
Jejak-jejak sejarah tersebar di hampir seluruh wilayah Pulau Onrust. Dari mulai bekas pondasi kincir angin zaman VOC, makam-makam kuno, gedung-gedung barak karantina jemaah haji (1911-1933) dan puing-puing kakus jaman baheula, hingga ke sisa-sisa bongkahan pondasi tanggul yang di bangun pada abad ke-17 tempo dulu. Museum yang ada di sini juga lebih banyak waktu istirahatnya ketimbang aktifitas operasionalnya. Sebab pengunjung ke Pulau Onrust hanya ramai pada musim liburan sekolah atau weekend days saja. Padahal biaya untuk berkunjung ke Pulau Onrust ini tidak terlampau mahal .Tiket masuk pulau ini, hanya Rp 2.000,- per orang. Ingin berkemah, silahkan. Ingin menginap di dalam gedung-gedung kuno di sana, juga boleh.
Menurut catatan sejarah, Pulau Onrust merupakan pelabuhan kapal-kapal dagang VOC pada zamannya. Aktifitas bongkar muat kapal, membuat pulau ini tampak sibuk setiap waktu. Itulah sebabnya pulau ini dinamakan onrust, artinya pulau yang tidak beristirahat.
Tapi sekarang, Pulau Onrust telah beristirahat. Yang tertinggal dan hidup sampai sekarang hanya puing-puing yang berbicara banyak tentang sejarah pulau ini, hingga sepanjang zaman.
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Menurut catatan sejarah, Pulau Onrust merupakan pelabuhan kapal-kapal dagang VOC pada zamannya. Aktifitas bongkar muat kapal, membuat pulau ini tampak sibuk setiap waktu. Itulah sebabnya pulau ini dinamakan onrust, artinya pulau yang tidak beristirahat.
Tapi sekarang, Pulau Onrust telah beristirahat. Yang tertinggal dan hidup sampai sekarang hanya puing-puing yang berbicara banyak tentang sejarah pulau ini, hingga sepanjang zaman.
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Thursday, September 14, 2006
Latihan Kesabaran dan Ketelitian
Caranya? Dengan membatik, semuanya bisa dilatih. Bukan iklan, bukan sihir. Di Museum Tekstil Jakarta, ada workshop membatik. Untuk kursus kilat sehari, biayanya Rp 40.000,-. Kita bisa bikin saputangan dengan desain sesuka hati, sakarep dewe'. Atau, pilih yang Rp 150.000,- untuk termin sebulan. Output nya, selembar kain batik cantik karya pribadi yang limited edition. Di seluruh dunia, cuma kita sendiri yang punya. whuaaahahaha...tertarik nggak? Bulan depan, saya akan mulai latihan di sana.
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Nasib Batik Indonesia
Sebagian koleksi kain batik asli Madura, dipamerkan awal September 2006 lalu di Museum Tekstil Jakarta. Kain-kain ini dijual. Harganya variatif, mulai dari Rp 100.000,- s/d 3 juta rupiah. Mahal? Ah....lebih mahal lagi, kalau 10 tahun kemudian kain-kain batik ini hanya boleh diproduksi di Malaysia. Karena hak cipta kain batik telah diklaim oleh negara tetangga kita ini, sebagai milik mereka. Sekali lagi, kita kecolongan...!
Writer : Ayu N. Andini
Writer : Ayu N. Andini
Wednesday, September 13, 2006
Kain Batik yang Berumur Lebih dari 300 tahun
Menurut penuturan Pak Bayu, Museum Tekstil Jakarta menyimpan dan merawat kain yang usianya sudah sangat tua. Kain ini adalah bendera kirab Kerajaan dari Cirebon (Istana Kasepuhan). Bendera ini multiguna. Sebagai lambang kekuasaan sekaligus sebagai pengusir wabah penyakit yang menimpa suatu daerah. Fungsi yang terakhir ini memang bekerja secara gaib dan dipercaya mujarab sebagai pemusnah epidemi pada zaman itu. Karenanya, bendera ini sempat singgah di beberapa tempat hingga ke daerah kekuasaan Kerajaan Banten. Sampai sekarang, diakui, bendera kirab Kerajaan Banten dan Kerajaan Cirebon, punya desain yang sama bentuk. Lebar dan panjangnya sekitar 2 m X 3,5 m. Bayangkan saja, ukuran ini hampir sebesar sprei tempat tidur ukuran double.
Sekarang, duplikatnya sering dipamerkan di seluruh Indonesia. Motif-motif yang ada pada kain ini adalah hasil tulis tangan dengan tinta dan pewarna indigo (sejenis tumbuhan). Warna dasarnya hitam agak kebiruan dan di sepanjang tepi kainnya dituliskan ayat suci Al-Qur'an (surat Al-Ikhlas).
Gambar yang tampil di halaman ini, adalah ikon Kerajaan Cirebon yang dituliskan pada sudut-sudut kain tersebut.
Writer : Ayu N. Andini
Photo by doc.Museum Tekstil Jakarta
Sekarang, duplikatnya sering dipamerkan di seluruh Indonesia. Motif-motif yang ada pada kain ini adalah hasil tulis tangan dengan tinta dan pewarna indigo (sejenis tumbuhan). Warna dasarnya hitam agak kebiruan dan di sepanjang tepi kainnya dituliskan ayat suci Al-Qur'an (surat Al-Ikhlas).
Gambar yang tampil di halaman ini, adalah ikon Kerajaan Cirebon yang dituliskan pada sudut-sudut kain tersebut.
Writer : Ayu N. Andini
Photo by doc.Museum Tekstil Jakarta
Pempek di Warung Mariana
Dalam perjalanan pulang setelah liputan (13/8), saya mendesak kawan saya untuk singgah di warung kecil tepi jalan menuju Parai Beach Resort. Saya bilang, kalau pempek yang dijual di warung-warung kecil tepi jalan, rasanya lebih enak dan unik daripada yang ada di restoran-restoran besar di sana. Lalu, kawan saya jadi percaya. Mobil kami menepi di sana. Tadinya hanya icip-icip, eeeh..dia malah makan hingga 5 potong ludas tandas. Pemilik warungnya, ramah. Namanya, Mariana.
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N Andini
Monday, September 11, 2006
Kejujuran yang Senilai dengan Nyawa
Kejujuran itu sama dengan harga diri. Semakin sering Anda berbohong, semakin rendahlah harga diri yang Anda taruh untuk diri Anda sendiri. Kejujuran itu senilai dengan nyawa. Jika kejujuran sudah tidak dihargai lagi, maka ia senilai dengan nyawa. Jika Anda masih merasa takut untuk mati, sudah waktunya bagi Anda untuk belajar jujur. Setidaknya terhadap diri Anda sendiri.
"Kejujuran itu seperti es krim. Harus cepat dilahap sebelum ia meleleh kena hawa panas."
(dikutip dari salah satu dialog film Andai Ia Tau)
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Sunday, September 10, 2006
Menikmati Setiap Sudut Pangkalpinang
Menurut dinas pariwisata setempat, kota Pangkalpinang sejak ratusan tahun ditempati oleh etnis Tionghoa. Oleh sebab itu objek wisata yang ada disana juga tak lepas dari sejarah dan budaya Tionghoa. Berdasarkan catatan sejarah, tahun 1848 penduduk etnis ini berjumlah sekitar 1.867 jiwa dan pada 1920 bertambah menjadi 15.666 orang, artinya 68,9 % dari seluruh penduduk kota pada waktu itu.
Dengan latar belakang sejarah demikian, wajar kalau Pangkalpinang dan peduduknya juga kental bernuansa tradisi peninggalan kekaisaran Tiongkok di Asia Timur. Disana tersebar aneka bangunan khas pecinan, seperti kelenteng yang menjadi tanda bahwa tradisi lokal masih melekat hingga sekarang. Berbagai upacara adat pun hingga kini masih lestari dan diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu. Kondisi ini membuktikan bahwa sejak berabad silam, pembauran antara etnis Tionghoa dengan Melayu berlangsung baik di kota ini khususnya dan Pulau Bangka secara keseluruhan.
Salah satu tempat yang kerap dikunjungi para wisatawan di Pangkalpinang adalah Kelenteng Kwan Tie Miaw. Kelenteng tertua di Bangka ini, berada masih di pusat Kota Pangkalpinang. Pada setiap perayaan Imlek, kelenteng ini penuh sesak oleh orang-orang yang hendak memanjatkan doa seraya membawa berbagai barang persembahan.
Beberapa upacara adat lokal, juga menarik perhatian wisatawan, antara lain “Peh Cun”, yaitu sebuah tradisi masyarakat Tionghoa untuk menghormati mendiang seorang bangsawan yang amat dicintai rakyat, bernama Qu Yuan. Upacara ini biasanya dilaksanakan di Pantai Pasir Padi setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.
Tempat lainnya yang juga sering dijambangi sekaligus mengingatkan kita pada abad ke-18 adalah Museum Timah Bangka. Di dalam museum ini terpapar catatan sejarah pertambangan timah Bangka dari awal ditemukan hingga perkembangan industrinya sekarang.
Pantai Favorit
Selain objek wisata sejarah dan budaya, Pangkalpinang juga memiliki objek wisata pantai yakni Pantai Pasir Padi yang terletak di Kecamatan Bukit Intan. Pantai ini mudah dijangkau, cuma butuh 30 menit dengan kendaraan bermotor dari pusah kota.
Kelebihan pantai ini antra lain pantainya landai dan cukup panjang sehingga pengunjungnya bisa puas bermain di sepanjang pantainya hingga jauh. Bentangan pantainya ke laut mencapai lebih-kurang 7 meter. Oleh karena itu ombaknya yang sampai ke tepi pantai hanya berupa riak kecil dan pelan. Sedangkan angin lautnya bertiup kencang ke arah daratan, sehingga kerap dimanfaatkan oleh para penggemar layang-layang.
Pantai berpasir coklat dan bersih ini menjadi lokasi favorit bagi semua umur. Disana kerap terlihat sejumlah anak asyik bermain di bibir pantai, berlarian, membangun istana pasir dan sebagainya. Kawula muda disana juga menjadikan pantai ini sebagai salah satu tempat tongkrongan. Pada akhir pekan atau hari libur, pantai ini semakin ramai pengunjungnya. Jangan heran kalau sampai ada mobil atau sepeda motor yang bebas mondar-mandir di tepian pantainya.
Di sekitar pantai tepatnya di tepi jalan beraspal, terdapat deretan saung kecil yang digunakan pedagang menjajakan aneka makanan dan minuman ringan. Salah satu minuman favorit di sana adalah air kelapa muda segar.
Kalau ingin menikmati keramaian Kota Pangkalpinang, datang saja ke seputar wilayah Pasar Pembangunan yang oleh warga setempat lebih dikenal dengan sebutan “Pasar Besar”. Di tempat ini segala jenis barang kebutuhan diperjualbelikan, ada aneka sayur mayur, ikan segar, pakaian hingga barang elektronik. Di lokasi ini juga terdapat deretan penjaja makanan khas Bangka.
Pusat Niaga
Letak Pangkalpinang yang sangat strategis di bagian timur Pulau Bangka, membuatnya selalu ramai dikunjungi orang baik wisatawan, pebisnis, dan sebagainya dari berbagai penjuru. Sarana angkutan masal di kota ini cukup memadai, misalnya Bandara Depati Amir yang terletak di ujung paling timur Kota Pangkalpinang, memiliki jangkauan jalur transportasi pesawat terbang yang didukung lebih dari 4 maskapai penerbangan se-Indonesia. Dengan luas wilayah 89,40 km2, kota ini berfungsi sebagai pusat pengembangan pembangunan yang meliputi pusat pemerintahan, kegiatan politik, perniagaan, industri, pendistribusian barang, jasa, pelayanan kesehatan, pusat pendidikan, dan lain-lain.
Jalan-jalan di seputar Kota Pangkalpinang cukup menyenangkan. Kondisi lalu-lintasnya lancar, boleh dibilang tak pernah macet. Didukung oleh sarana transportasi umum dengan terminal kota di dekat "Pasar Besar" yang melayani beberapa rute angkutan dalam kota.
Dengan latar belakang sejarah demikian, wajar kalau Pangkalpinang dan peduduknya juga kental bernuansa tradisi peninggalan kekaisaran Tiongkok di Asia Timur. Disana tersebar aneka bangunan khas pecinan, seperti kelenteng yang menjadi tanda bahwa tradisi lokal masih melekat hingga sekarang. Berbagai upacara adat pun hingga kini masih lestari dan diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu. Kondisi ini membuktikan bahwa sejak berabad silam, pembauran antara etnis Tionghoa dengan Melayu berlangsung baik di kota ini khususnya dan Pulau Bangka secara keseluruhan.
Salah satu tempat yang kerap dikunjungi para wisatawan di Pangkalpinang adalah Kelenteng Kwan Tie Miaw. Kelenteng tertua di Bangka ini, berada masih di pusat Kota Pangkalpinang. Pada setiap perayaan Imlek, kelenteng ini penuh sesak oleh orang-orang yang hendak memanjatkan doa seraya membawa berbagai barang persembahan.
Beberapa upacara adat lokal, juga menarik perhatian wisatawan, antara lain “Peh Cun”, yaitu sebuah tradisi masyarakat Tionghoa untuk menghormati mendiang seorang bangsawan yang amat dicintai rakyat, bernama Qu Yuan. Upacara ini biasanya dilaksanakan di Pantai Pasir Padi setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.
Tempat lainnya yang juga sering dijambangi sekaligus mengingatkan kita pada abad ke-18 adalah Museum Timah Bangka. Di dalam museum ini terpapar catatan sejarah pertambangan timah Bangka dari awal ditemukan hingga perkembangan industrinya sekarang.
Pantai Favorit
Selain objek wisata sejarah dan budaya, Pangkalpinang juga memiliki objek wisata pantai yakni Pantai Pasir Padi yang terletak di Kecamatan Bukit Intan. Pantai ini mudah dijangkau, cuma butuh 30 menit dengan kendaraan bermotor dari pusah kota.
Kelebihan pantai ini antra lain pantainya landai dan cukup panjang sehingga pengunjungnya bisa puas bermain di sepanjang pantainya hingga jauh. Bentangan pantainya ke laut mencapai lebih-kurang 7 meter. Oleh karena itu ombaknya yang sampai ke tepi pantai hanya berupa riak kecil dan pelan. Sedangkan angin lautnya bertiup kencang ke arah daratan, sehingga kerap dimanfaatkan oleh para penggemar layang-layang.
Pantai berpasir coklat dan bersih ini menjadi lokasi favorit bagi semua umur. Disana kerap terlihat sejumlah anak asyik bermain di bibir pantai, berlarian, membangun istana pasir dan sebagainya. Kawula muda disana juga menjadikan pantai ini sebagai salah satu tempat tongkrongan. Pada akhir pekan atau hari libur, pantai ini semakin ramai pengunjungnya. Jangan heran kalau sampai ada mobil atau sepeda motor yang bebas mondar-mandir di tepian pantainya.
Di sekitar pantai tepatnya di tepi jalan beraspal, terdapat deretan saung kecil yang digunakan pedagang menjajakan aneka makanan dan minuman ringan. Salah satu minuman favorit di sana adalah air kelapa muda segar.
Kalau ingin menikmati keramaian Kota Pangkalpinang, datang saja ke seputar wilayah Pasar Pembangunan yang oleh warga setempat lebih dikenal dengan sebutan “Pasar Besar”. Di tempat ini segala jenis barang kebutuhan diperjualbelikan, ada aneka sayur mayur, ikan segar, pakaian hingga barang elektronik. Di lokasi ini juga terdapat deretan penjaja makanan khas Bangka.
Pusat Niaga
Letak Pangkalpinang yang sangat strategis di bagian timur Pulau Bangka, membuatnya selalu ramai dikunjungi orang baik wisatawan, pebisnis, dan sebagainya dari berbagai penjuru. Sarana angkutan masal di kota ini cukup memadai, misalnya Bandara Depati Amir yang terletak di ujung paling timur Kota Pangkalpinang, memiliki jangkauan jalur transportasi pesawat terbang yang didukung lebih dari 4 maskapai penerbangan se-Indonesia. Dengan luas wilayah 89,40 km2, kota ini berfungsi sebagai pusat pengembangan pembangunan yang meliputi pusat pemerintahan, kegiatan politik, perniagaan, industri, pendistribusian barang, jasa, pelayanan kesehatan, pusat pendidikan, dan lain-lain.
Jalan-jalan di seputar Kota Pangkalpinang cukup menyenangkan. Kondisi lalu-lintasnya lancar, boleh dibilang tak pernah macet. Didukung oleh sarana transportasi umum dengan terminal kota di dekat "Pasar Besar" yang melayani beberapa rute angkutan dalam kota.
Tips Perjalanan:
Pulau Bangka berada di jalur strategis dan internasional antara Singapura dan Jakarta. Mudah mencapainya. Lewat laut dari Jakarta ke Pelabuhan Belinyu dan Pangkal Balam. Via udara dengan pesawat udara, antara lain Sriwijaya Air yang terbang setiap hari ke bandara Depati Amir yang berjarak sekitar 40 km dari Kota Sungailiat. Dari Bandara Depati Amir menuju pusat Kota Pangkalpinang, dapat ditempuh dengan kendaraan umum sekitar 30 menit. Kalau ingin ke Pantai Pasir Padi, ambil jalur yang menuju ke Air Itam. Jaraknya sekitar 30 menit dari pusat kota.
(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata, perjalanan, seni dan budaya, yang berkantor di Jakarta)
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Friday, September 08, 2006
Tarian Kentang
Rokok Kemenyan dan Sekarung Kentang
Thursday, September 07, 2006
Dieng, Pesona Negeri Kabut
Dieng, cukup populer sebagai salah satu tempat wisata yang banyak diminati turis-turis lokal dan manca negara. Sebuah tempat dengan kondisi demografis yang dikelilingi oleh beberapa gunung dan pegunungan, menyuguhkan panorama yang tak habis meninggalkan decak kagum. Udaranya yang sejuk, dan kabutnya yang turun di hampir setiap waktu, telah memberikan daya tarik tersendiri.
Dari atas Menara Pandang, selain dapat menikmati golden sunrise dari timur Gunung Sindoro dan pegunungan Tlerep, kita juga bisa menatap sebagian besar pesona Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateu). Dataran Tinggi Dieng, tercatat berada pada ketinggian yang berkisar antara 1200 s/d 2550 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tepat terletak di antara dua daerah kabupaten: Banjarnegara dan Wonosobo, juga termasuk dalam dua wilayah kecamatan: Batur dan Pejajar.
Agrowisata di Dieng
Jika sinar matahari cerah mengalahkan kabut yang pergi menyingkir, maka akan terlihat pemandangan gunung dan pegunungan di sekitarnya yang menampakkan denyut kehidupan. Lekuk-lekuk Sungai Serayu, kebun-kebun kentang, perumahan penduduk, dan lahan-lahan tembakau terhampar.
Iklim dan suhu yang mendukung kesuburan tanahnya, menjadi sumber penghidupan penduduk di sana. Dingin yang menggigit tulang, tak jadi aral rintangan bagi penduduk di sana untuk melakukan aktivitasnya setiap hari. Daerah ini bertemperatur rata-rata 18 derajat Celcius pada siang hari, dan 12 s/d 16 derajat Celcius pada malam atau pagi hari. Bahkan menurut penuturan masyarakat asli Kabupaten Wonosobo, pada pagi hari di musim kemarau suhunya bisa mencapai -2 s/d -4 derajat Celcius.
Rendahnya temperatur ini, dapat membuat beberapa jenis tanaman tumbuh subur di sana. Sebagian kecil lahan tembakau yang subur, tampak lebih jelas bila dipandang dari sebuah penginapan yang diapit oleh keindahan pemandangan dari dua Gunung, Sindoro dan Sumbing.
Begitu pula halnya dengan Perkebunan Teh Tambi yang berada di lereng pegunungan Sindoro dan Sumbing di ketinggian 800 s/d 2000mdpl. Perkebunan Teh Tambi ini telah tumbuh subur sejak tahun 1865 hingga sekarang. Kabut yang kerap turun di sana, malah menjadi nilai tambah bagi pesonanya.
Tak sedikit turis yang betah berlama-lama memandangi hamparan hijau kebun teh sambil sekaligus berkunjung ke pabrik pengolahannya yang terletak tak jauh dari sana. Jika semua aktivitas telah usai, para turis dapat menikmati secangkir hangat teh Tambi.
Pesona Alam yang Lahir dari Legenda
Dieng dan pesonanya, juga menyimpan legenda yang menjadi cerita asal mulanya. Menurut Pak Salim, salah seorang penduduk Wonosobo dan memahami legenda yang hidup dan dipercaya penduduk disana, mengungkapkan, “Dieng itu dari bahasa Jawa,yaitu dhi dan hyang yang artinya gunung, dan hyang diambil dari kata para hyang, yang artinya para dewa dewi. Jadi, Dieng itu artinya gunung tempat para dewa dewi. Bisa dilihat, di sini juga ada banyak situs-situs candi peninggalan agama Hindu.”
Perjalanan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor (motor atau mobil) dari kota Wonosobo menuju Dieng. Jaraknya kurang lebih hanya 26 km. Jika telah tiba di kompleks candi Arjuna, pengunjung dapat melihat deretan candi yang berdiri tegak di sana. Ada Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, dan Candi Semar. Dari hasil penelitian para ahli sejarah, kelompok candi Arjuna ini dibuat pada pertengahan abad ke-8. Diperkirakan candi peninggalan agama Hindu Civa (Hindu Shiwa) ini, usianya lebih tua daripada Candi Borobudur yang ada di Yogyakarta.
Selain itu, masih ada beberapa kelompok candi lainnya yang terletak terpisah beberapa kilometer dari kelompok candi Arjuna. Kelompok candi lainnya itu adalah Candi Gatotkaca dan Candi Bima.
Situs-situs bersejarah tersebut berada dalam area cagar budaya yang terawat baik. Letaknya dikelilingi oleh pegunungan Pangonan. Tak jauh dari kawasan candi Arjuna, terdapat tempat wisata lain yang juga ramai dikunjungi. Telaga Warna dan Kawah Sikidang.
Telaga Warna dengan latar belakang dua gunung besar, yaitu Gunung Sindoro yang berketinggian mencapai 3151 meter dan di sebelahnya, yaitu Gunung Sumbing dengan ketinggian 3371 meter. Telaga yang tampak berwarna hijau kebiruan dan bening berkilauan ditimpa sinar matahari, adalah sebuah telaga yang dibuatkan oleh Pangeran calon menantu sang Ratu. Konon pada saat itu ada dua calon yang akan diangkat menjadi menantunya. Oleh karena itu, diadakanlah sayembara adu cepat membuat telaga. Salah satu Pangeran, jadi pemenangnya. Namun saat sang Ratu sedang berjalan-jalan dan melihat telaga dengan airnya yang begitu tenang, Ratu menjadi tertarik dan mencari tahu tentang siapa pembuatnya. Akhirnya keputusan tentang pemenang sayembara tersebut, dicabut. Pangeran pembuat telaga beriak tenang dengan airnya yang bening berkilauanlah yang menjadi pemenangnya. Ketika Ratu tengah mandi di telaga ini bersama anak perempuannya yang cantik, baju-baju mereka diterbangkan angin dan jatuh ke dalam telaga. Baju-baju mereka melunturi air telaga, hingga air telaga menjadi berwarna. Sejak itulah, telaga ini disebut sebagai Telaga Warna. Legenda Telaga Warna ini, masih tetap hidup dan dipercaya oleh penduduk di kawasan Dieng.
Pada bagian lereng bukit dekat dengan Telaga Warna, ada sebuah kawah yang disebut dengan nama Kawah Sikidang. Kawah ini berkadar belerang rendah, hingga pengunjungnya tetap banyak yang datang mendekat ke Kawah Sikidang. L. Agus. Tjugianto, seorang penduduk asli Kabupaten Wonosobo sekaligus pemilik Kledung Pass Hotel dan Restaurant yang berlokasi tak jauh dari Telaga Warna dan Kawah Sikidang, menuturkan kepada para peserta tour Panorama Leisure bahwa Kawah Sikidang berasal dari sebuah legenda rakyat Wonosobo. “Dipercaya, bahwa di dalam kawah tersebut dulunya ada sebuah istana milik seorang ratu yang cantik. Namanya Shinta Dewi. Pada suatu masa, ia dilamar lengsung oleh pangeran yang menurut kabar, adalah pangeran yang tampan dan kaya raya. Namun ternyata Shinta Dewi kecewa. Pangeran ini bertubuh manusia dan berkepala kijang. Namanya, Kidang Garungan. Maka untuk mempersulit proses lamarannya, Shinta Dewi bersiasat dan meminta syarat untuk dibuatkan sumur yang sangat besar dan sangat dalam di sana. Ketika sumur tersebut hampir selesai, Shinta Dewi dan para pengawalnya mengurug sumur itu. Kidang Garungan ikut tertimbun di dalamnya. Dengan mengerahkan segala kesaktiannya untuk keluar dari sana, sumur itu meledak. Permukaannya menjadi panas dan bergetar. Namun setiap kali Kidang Garungan ingin keluar dari sumur ini, sumur ini terus menerus diurug. Akhirnya Kidang Garungan sangat marah hingga mengutuk bahwa seluruh keturunan Shinta Dewi akan berambut gembel.”
Setelah menikmati indahnya Kawah Sikidang yang terus mengepulkan asap belerang ini, pengunjung dapat menengok aneka ‘buah tangan’ yang dijual para penduduk di los-los terbuka dekat area parkir dan gerbang masuk kawasan wisata Kawah Sikidang. Ada aneka bentuk dan kreasi kerajinan perak, buah dan manisan Carica Dieng dalam kemasan, cabe Dieng, keripik jamur, hingga jamu purwaceng. Setelah diteliti, ternyata tumbuhan yang disebut purwaceng ini termasuk jenis tanaman ginseng yang tumbuh juga di Korea dan Tiongkok.
Kemudian, tak jauh dari lokasi ini juga ada Bimolukar (Bima Belukar). Sebuah tempat mata air Sungai Serayu yang berasal dari Gunung Perahu (2596mdpl), dan dianggap sebagai air suci bagi umat Hindu. Di sekitarnya rimbun dengan pepohonan. Menuju gerbang masuknya, seringkali beberapa ekor monyet yang telah jinak, muncul dan diam berlama-lama di sana. Sebuah suguhan pemandangan yang unik.
Ketika hari telah gelap, suguhan gelar budaya mengundang semua mata pengunjung terpukau. Bunyi tabuhan gamelan mengalun menghentak pelan. Tarian-tarian rakyat dipertunjukkan. Tari Lengger, Tari Topeng, dan pertunjukan unik dari upacara makan beling, jadi kejutan yang luar biasa. Lalu, semuanya ditutup dengan pemberian cindera mata. Ada banyak kenang-kenangan yang datang dari Dieng, Negeri Kabut tempat legenda tersimpan dengan harta pesona yang tak ternilai harganya.
(Tulisan ini telah dimuat di salah satu majalah wisata yang berkantor di Jakarta)
Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Subscribe to:
Posts (Atom)