Monday, September 25, 2006
Kembang Randu
Berlibur ke rumah nenek. Ini bukan judul karangan setelah musim liburan. Ini cuma ingatan di kepalaku yang membuatku lebih cepat menyelesaikan bab ke-5. Bab terakhir skripsi yang tertunda beberapa bulan karena lebih senang cari uang daripada bikin skripsi.
Kepergian terakhir dua minggu yang lalu, seperti pemicu. Pasalnya, setelah tanya sana tanya sini, sejak dulu belum ada yang pernah ditugaskan untuk meliput di lokasi itu. Ke Pabrik Minyak Wangi. Dan ketika semua bahan liputanku sudah rampung, ada PakZamroni yang datang mengetuk kamarku.
“Maaf, pak. Cuma sebentar saja. Siapa tahu, ini bisa jadi bahan tulisan bapak nanti. Sebab saya dengar dari orang-orang disini, bapak ini wartawan ya?” ucapnya sambil menggulung lengan bajunya.
“Ada yang mau saya bicarakan, pak. Penting. Bisa?”
“Dengar-dengar kabar, bapak sedang meliput di pabrik minyak wangi ini ya? Saya juga sering papasan di jalan dengan bapak. Tapi bapak pasti tidak perhatikan saya kan? Saya ini, yang punya sawah di sebelah timur pabrik minyak wangi itu. Begini pak,….,” ia menyulut rokok klobotnya dan asapnya penuh di ruang kamarku yang baru saja kusemprot pewangi ruangan karena ada bau tak sedap yang datang ke dalamnya. Asalnya, entah dari mana.
Sudah berpuluh tahun, tak seorangpun hirau dengan bau tak sedap yang selalu mampir di hidung setiap orang di sini. Katanya, belum ada wartawan yang mampir ke sini. Katanya, tak ada pula penduduk yang berani membicarakan hal ini terang-terangan. Sepertinya masalah ini sudah bagai jarum yang bersembunyi di bawah jerami.
“Saya bicara tidak atas nama siapa-siapa pak. Ini atas nama pribadi. Sudah lama kami merasa tak puas dengan hasil panen tiap tahunnya. Karena limbah ini,” ujarnya dengan wajah yang berlipat-lipat. Tertutup kepul asap klobot.
Tapi besok, rombongan kepala desa akan ke kota dan aku terpaksa harus turut serta. Belum ada angkutan desa kecuali Odong-Odong, yang datang cuma tiga kali sehari. Rombongan kepala desa berencana akan mengenalkanku pada camat dan bupati mereka. Itu, besok pagi!
Sudah kukatakan semua padanya, “Besok pagi, saya harus pulang.”
“Lalu bagaimana dengan kami, Pak? Tidak bisa bantu? Berarti tak ada lagi yang bisa bantu kami. Sebenarnya kami cuma ingin bulir-bulir padi hasil panen tahun berikutnya tidak kurus-kurus lagi….,” ia menghempaskan pecinya ke mejaku dan debu rokok klobotnya terbang hingga kemana-mana. Mejaku jadi abu-abu….
Lalu kubilang padanya, supaya kembali pulang ke rumah dan tenangkan dirinya. Ini agar aku punya waktu berpikir lebih lama. Sekarang sudah pukul 3 dini hari. Tiga jam kemudian, sudah harus bersiap ke kota.
“Maaf, pak. Sepertinya saya tidak jadi pulang ke Jakarta hari ini. Saya butuh satu minggu lagi, untuk sekalian liputan potensi daerah sini. Tidak masalah kan, bapak-bapak?” kuputuskan saja seperti ini. Biar cepat. Sudah untung cuma seminggu, tidak sebulan.
Diluar dugaan, mereka malah mendukung dan menyambut baik niatku itu. Apa boleh buat, semuanya harus diteruskan. Caranya? Kita lihat saja besok.
Dari awal kedatanganku di kampung ini, sudah tampak ada keanehan. Sehari setelah kulihat hasil-hasil foto lanscape Pabrik Minyak Wangi, rasanya ada yang tidak pas. Entah apa, aku tidak hirau. Itu tidak pernah jadi hal yang penting untuk terus diulik-ulik. Yang terjadi, sesi pengambilan foto landscape diulang hingga tiga kali. Dan ini tidak benar-benar jadi bahan pikiran penting.
Sampai ketika pak Zamroni datang tengah malam itu. Semuanya harus ditilik ulang. Tapak-tapak ingatanku berjalan mundur, sampai ke satu titik untuk bisa memulai semuanya dari awal lagi : “Ke sawah di samping tembok besar Pabrik Minyak Wangi. Di sana ada gerbang masuk pegawai pabrik dan jalan tanah yang biasa dilewati para buruh pabrik, truk-truk pengangkut, dan mobil pemilik pabrik ini,” pikirku.
Hari pertama, berkunjung ke rumah supir truk Pabrik Minyak Wangi. Kupilih waktu: menjelang senja. Karena saat itu, orang-orang di sini menutup jendela dan pintu-pintunya rapat-rapat agar semua roh-roh jahat yang berkeliaran saat menjelang senja, tak mengganggu mimpi-mimpi mereka ketika tidur. Jalanan sudah sepi. Aku hanya berpapasan dengan beberapa orang pencari rumput dan buruh-buruh Pabrik Minyak Wangi. Sebagian dari mereka, aku kenal.
Tak sulit menemukan alamat Jakun, supir pabrik itu. Besok pagi aku membuat janji dengannya untuk menjemputku ke pabrik dan masuk lewat gerbang belakang.
Hari ke-2, keberuntungan dibuka untukku. Dari keterangan Jakun yang ternyata juga bekerja sebagai pengontrol pipa saluran buangan limbah, jalur pipanya mengarah ke sungai di sebelah selatan Pabrik Minyak Wangi.
“Itu sungai utama yang lewat di kampung sini. Semua petani sini sudah tahu itu sejak dulu. Air sungainya jadi berbau. Warnanya, membiru kehitaman. Tak bisa dipakai cuci dan mandi lagi. Sebagian besar alirannya masuk ke area persawahan penduduk. Bapak pernah mencium bau busuk di ruang kamar Bapak kan? Itu bau limbah!” Suara Pak Zamroni meninggi, lalu klobotnya mengepul-ngepul tak henti. “Aliran limbahnya masuk ke sawahku, Pak.”
Hari ke-3, ikuti Jakun mengontrol pipa buangan limbah. Sampai di sini, semuanya kuputuskan untuk jadi rahasia kami berdua. Pipa yang dibuat tahun 1982 itu, sudah bocor sana sini. Tidak terawat. Jakun bukan perawatnya. Ia cuma pengontrol. Pipa bocor, tinggal ditambal. Stok foto, sudah penuh dengan gambar-gambar cipratan air biru tua dari lubang-lubang bocoran pipa dan rembesan-rembesannya ke tanah sawah di sekitar Pabrik Minyak Wangi.
Hari ke-4, terpaksa mengendap-endap di semak-semak hampir seharian penuh! Sembunyi setiap kali orang melintas jembatan sungai.
Air sungai biru tua. Namanya bagus, tapi tidak dengan keadaannya. Baunya itu mak! Busuk menusuk hidung dan paru-paru. Syal pemberian Koro, sahabatku si tukang ngorok itu, kukenakan jadi penutup hidung. Tak tahan! Jaring ikan yang kupinjam dari Zamroni, tak membuahkan hasilnya. Cuma rumput-rumput kering warna biru tua yang penuhi jaring.
“Tidak akan ada yang mau tinggal di dalamnya,” ujar Jakun pahit.
Kami pulang dengan diam.
Hari ke-5, aku menitipkan foto-foto hasil bidikan selama 4 hari kepada Pak Dirja untuk dikirimkan ke Jakarta. Beliau adalah induk semangku selama aku tinggal di desa ini. Paginya, Pak Dirja akan ke kota menumpang truknya si Jakun.
Malam itu, kudatangi rumah Zamroni. Bicara-bicara masalah hasil panen sawahnya sejak tahun 1983, semalam suntuk. Lalu tertidur di bale-bale depan rumahnya. Aku terbangun karena udara dingin menusuk sumsum tulang. Ini subuh, hari terakhirku di tempat ini.
Sampai di kota, yang pertama kukontak adalah Koro.
“Ro, kirimanku udah sampai belum? Kukirim kemarin, pakai titipan kilat.”
Hasil foto investigasi ini berderet penuh di dalam kamar gelapku. Tidak ada yang indah. Melihat gambar biru hitamnya sungai itu, seperti ada bau yang sampai ke indera penciumanku. Aku muntah di dekat kursi.
“Buat apaan sih? Udah nggak ada hubungannya ama kamu, tau nggak!”
Baru kali ini kulihat si Koro mukanya jadi makin jelek.
“Terus, udah begini, mau diapain? Lapor polisi? Hihihi…lucu!”
Nah! Koro mulai skeptis, sambil korek-korek telinga dan mulutnya manyun-manyun. Dia duduk meringkuk di kursi rotan.
Aku cuma ingin menulis. Tidak lebih, tidak kurang.
Sekarang, semua sudah rampung.
Tulisanku sudah terbit di media cetak ternama se-Indonesia, foto-fotonya juga tampil kontras di dekat foto pemenang kontes kecantikan tahun ini. Padanan yang tidak sedap dipandang mata.
Sehari setelah terbit, puluhan kali ponselku berbunyi setiap selang 2 menit. Penelepon pada jam 6 hingga 10 pagi, masih terlayani dengan ramah. Lama-lama, kepalaku seperti dipukul-pukul.
“Standar. Namanya juga artikel sensasional. Pasti kamu akan didera begitu sampai mereka semua bosan ama tulisanmu yang konyol itu,” kata Koro, sahabatku yang selalu ingin jadi artis tapi belum kesampaian.
“Udah kayak seleb aja, ih!”
Nah! Dia cemburu kan!
Dari semua berita yang kutahu, akhirnya ada peninjauan dari DPR ke Kampung Tiga. Ke Pabrik Minyak Wangi. Ke air sungai biru tua. Ke sawah penduduk termasuk sawahnya Zamroni.
“Terima kasih, pak. Ini ada oleh-oleh dari saya dan teman-teman di sana. Cuma sedikit saja. Tidak apa ya?” Zamroni menyuruh kuli angkutnya untuk bongkar muat di garasi kantor. Isinya: kelapa 20 butir, ayam jago 5 ekor, ayam-ayam betina yang gemuk-gemuk ada 4 ekor, pisang mangkel 8 tandan, dan beras Kampung Tiga sebanyak 2 karung.
Ini semua, untuk artikel pendek yang hanya 3 kolom, muncul di halaman akhir, dengan jumlah kata tak lebih dari 500.
Ini semua, ungkapan terima kasih yang akan kusimpan sepanjang zaman. Yang kurasakan ini, haru.
Sudah sebulan kupingku terlalu kenyang dengan pujian-pujian dari teman-teman sejawat. Sudah mulai terasa muak. Artikel tentang Pabrik Minyak Wangi, kutulis dengan isi yang tidak ‘seharum’ produk-produknya. Telah kubatalkan semua pekerjaan kantorku. Telah kutolak keinginan redakturku. Aku, di pecat.
Tidak ada sedikit pun selipan benci dan sesal dalam hati dan pikiranku. Malam itu aku mulai membuka file-file skripsiku. Dan menulis seperti tak ingin berhenti. Sama dengan kerinduan pada bau pekarangan rumah di Malang Selatan. Melesat cepat padati pandangan mata dan segala indera.
Sekarang bukan Mei lagi. Kusobek lembarnya dan kujadikan alas di rak lemari pakaian.
Bulan Juni, di Ngliyep sedang bagus. Ikan-ikan kecilnya banyak berenang ke bibir pantai lalu mampir ke sela-sela batu karang. Ombaknya tinggi berdiri, bisa menelan batu-batu karang. Meluncur ke pantai, membawa pasir dan kerang-kerang kumang singgah ke daratan.
Anginnya akan menepuk kencang air laut dan rimbunan bambu. Cuacanya yang dingin dapat menjadi lebih dingin. Orang menyebutnya Bediding. Saat dimana pohon-pohon randu mulai berbunga. Dan usai itu, muncul Lemareng. Masa-masa setelah Rendeng dan beberapa waktu sebelum masa Ketigo.
Saat itu, aku biasa mendengar bunyi serangga Gareng jadi teman merdu pengantar tidur dan kawani semua malam-malamku selama pancaroba di sana. Kembang-kembang randu akan ada yang jatuh di atas bale-bale.
Rinduku berlari lebih kencang dari angin laut.
Malang Selatan, memang tak pernah ingin pergi dariku.
Jakarta, 16 Juni 2006
Writer : Ayu N. Andini
Kepergian terakhir dua minggu yang lalu, seperti pemicu. Pasalnya, setelah tanya sana tanya sini, sejak dulu belum ada yang pernah ditugaskan untuk meliput di lokasi itu. Ke Pabrik Minyak Wangi. Dan ketika semua bahan liputanku sudah rampung, ada PakZamroni yang datang mengetuk kamarku.
“Maaf, pak. Cuma sebentar saja. Siapa tahu, ini bisa jadi bahan tulisan bapak nanti. Sebab saya dengar dari orang-orang disini, bapak ini wartawan ya?” ucapnya sambil menggulung lengan bajunya.
“Ada yang mau saya bicarakan, pak. Penting. Bisa?”
“Dengar-dengar kabar, bapak sedang meliput di pabrik minyak wangi ini ya? Saya juga sering papasan di jalan dengan bapak. Tapi bapak pasti tidak perhatikan saya kan? Saya ini, yang punya sawah di sebelah timur pabrik minyak wangi itu. Begini pak,….,” ia menyulut rokok klobotnya dan asapnya penuh di ruang kamarku yang baru saja kusemprot pewangi ruangan karena ada bau tak sedap yang datang ke dalamnya. Asalnya, entah dari mana.
Sudah berpuluh tahun, tak seorangpun hirau dengan bau tak sedap yang selalu mampir di hidung setiap orang di sini. Katanya, belum ada wartawan yang mampir ke sini. Katanya, tak ada pula penduduk yang berani membicarakan hal ini terang-terangan. Sepertinya masalah ini sudah bagai jarum yang bersembunyi di bawah jerami.
“Saya bicara tidak atas nama siapa-siapa pak. Ini atas nama pribadi. Sudah lama kami merasa tak puas dengan hasil panen tiap tahunnya. Karena limbah ini,” ujarnya dengan wajah yang berlipat-lipat. Tertutup kepul asap klobot.
Tapi besok, rombongan kepala desa akan ke kota dan aku terpaksa harus turut serta. Belum ada angkutan desa kecuali Odong-Odong, yang datang cuma tiga kali sehari. Rombongan kepala desa berencana akan mengenalkanku pada camat dan bupati mereka. Itu, besok pagi!
Sudah kukatakan semua padanya, “Besok pagi, saya harus pulang.”
“Lalu bagaimana dengan kami, Pak? Tidak bisa bantu? Berarti tak ada lagi yang bisa bantu kami. Sebenarnya kami cuma ingin bulir-bulir padi hasil panen tahun berikutnya tidak kurus-kurus lagi….,” ia menghempaskan pecinya ke mejaku dan debu rokok klobotnya terbang hingga kemana-mana. Mejaku jadi abu-abu….
Lalu kubilang padanya, supaya kembali pulang ke rumah dan tenangkan dirinya. Ini agar aku punya waktu berpikir lebih lama. Sekarang sudah pukul 3 dini hari. Tiga jam kemudian, sudah harus bersiap ke kota.
“Maaf, pak. Sepertinya saya tidak jadi pulang ke Jakarta hari ini. Saya butuh satu minggu lagi, untuk sekalian liputan potensi daerah sini. Tidak masalah kan, bapak-bapak?” kuputuskan saja seperti ini. Biar cepat. Sudah untung cuma seminggu, tidak sebulan.
Diluar dugaan, mereka malah mendukung dan menyambut baik niatku itu. Apa boleh buat, semuanya harus diteruskan. Caranya? Kita lihat saja besok.
Dari awal kedatanganku di kampung ini, sudah tampak ada keanehan. Sehari setelah kulihat hasil-hasil foto lanscape Pabrik Minyak Wangi, rasanya ada yang tidak pas. Entah apa, aku tidak hirau. Itu tidak pernah jadi hal yang penting untuk terus diulik-ulik. Yang terjadi, sesi pengambilan foto landscape diulang hingga tiga kali. Dan ini tidak benar-benar jadi bahan pikiran penting.
Sampai ketika pak Zamroni datang tengah malam itu. Semuanya harus ditilik ulang. Tapak-tapak ingatanku berjalan mundur, sampai ke satu titik untuk bisa memulai semuanya dari awal lagi : “Ke sawah di samping tembok besar Pabrik Minyak Wangi. Di sana ada gerbang masuk pegawai pabrik dan jalan tanah yang biasa dilewati para buruh pabrik, truk-truk pengangkut, dan mobil pemilik pabrik ini,” pikirku.
Hari pertama, berkunjung ke rumah supir truk Pabrik Minyak Wangi. Kupilih waktu: menjelang senja. Karena saat itu, orang-orang di sini menutup jendela dan pintu-pintunya rapat-rapat agar semua roh-roh jahat yang berkeliaran saat menjelang senja, tak mengganggu mimpi-mimpi mereka ketika tidur. Jalanan sudah sepi. Aku hanya berpapasan dengan beberapa orang pencari rumput dan buruh-buruh Pabrik Minyak Wangi. Sebagian dari mereka, aku kenal.
Tak sulit menemukan alamat Jakun, supir pabrik itu. Besok pagi aku membuat janji dengannya untuk menjemputku ke pabrik dan masuk lewat gerbang belakang.
Hari ke-2, keberuntungan dibuka untukku. Dari keterangan Jakun yang ternyata juga bekerja sebagai pengontrol pipa saluran buangan limbah, jalur pipanya mengarah ke sungai di sebelah selatan Pabrik Minyak Wangi.
“Itu sungai utama yang lewat di kampung sini. Semua petani sini sudah tahu itu sejak dulu. Air sungainya jadi berbau. Warnanya, membiru kehitaman. Tak bisa dipakai cuci dan mandi lagi. Sebagian besar alirannya masuk ke area persawahan penduduk. Bapak pernah mencium bau busuk di ruang kamar Bapak kan? Itu bau limbah!” Suara Pak Zamroni meninggi, lalu klobotnya mengepul-ngepul tak henti. “Aliran limbahnya masuk ke sawahku, Pak.”
Hari ke-3, ikuti Jakun mengontrol pipa buangan limbah. Sampai di sini, semuanya kuputuskan untuk jadi rahasia kami berdua. Pipa yang dibuat tahun 1982 itu, sudah bocor sana sini. Tidak terawat. Jakun bukan perawatnya. Ia cuma pengontrol. Pipa bocor, tinggal ditambal. Stok foto, sudah penuh dengan gambar-gambar cipratan air biru tua dari lubang-lubang bocoran pipa dan rembesan-rembesannya ke tanah sawah di sekitar Pabrik Minyak Wangi.
Hari ke-4, terpaksa mengendap-endap di semak-semak hampir seharian penuh! Sembunyi setiap kali orang melintas jembatan sungai.
Air sungai biru tua. Namanya bagus, tapi tidak dengan keadaannya. Baunya itu mak! Busuk menusuk hidung dan paru-paru. Syal pemberian Koro, sahabatku si tukang ngorok itu, kukenakan jadi penutup hidung. Tak tahan! Jaring ikan yang kupinjam dari Zamroni, tak membuahkan hasilnya. Cuma rumput-rumput kering warna biru tua yang penuhi jaring.
“Tidak akan ada yang mau tinggal di dalamnya,” ujar Jakun pahit.
Kami pulang dengan diam.
Hari ke-5, aku menitipkan foto-foto hasil bidikan selama 4 hari kepada Pak Dirja untuk dikirimkan ke Jakarta. Beliau adalah induk semangku selama aku tinggal di desa ini. Paginya, Pak Dirja akan ke kota menumpang truknya si Jakun.
Malam itu, kudatangi rumah Zamroni. Bicara-bicara masalah hasil panen sawahnya sejak tahun 1983, semalam suntuk. Lalu tertidur di bale-bale depan rumahnya. Aku terbangun karena udara dingin menusuk sumsum tulang. Ini subuh, hari terakhirku di tempat ini.
Sampai di kota, yang pertama kukontak adalah Koro.
“Ro, kirimanku udah sampai belum? Kukirim kemarin, pakai titipan kilat.”
Hasil foto investigasi ini berderet penuh di dalam kamar gelapku. Tidak ada yang indah. Melihat gambar biru hitamnya sungai itu, seperti ada bau yang sampai ke indera penciumanku. Aku muntah di dekat kursi.
“Buat apaan sih? Udah nggak ada hubungannya ama kamu, tau nggak!”
Baru kali ini kulihat si Koro mukanya jadi makin jelek.
“Terus, udah begini, mau diapain? Lapor polisi? Hihihi…lucu!”
Nah! Koro mulai skeptis, sambil korek-korek telinga dan mulutnya manyun-manyun. Dia duduk meringkuk di kursi rotan.
Aku cuma ingin menulis. Tidak lebih, tidak kurang.
Sekarang, semua sudah rampung.
Tulisanku sudah terbit di media cetak ternama se-Indonesia, foto-fotonya juga tampil kontras di dekat foto pemenang kontes kecantikan tahun ini. Padanan yang tidak sedap dipandang mata.
Sehari setelah terbit, puluhan kali ponselku berbunyi setiap selang 2 menit. Penelepon pada jam 6 hingga 10 pagi, masih terlayani dengan ramah. Lama-lama, kepalaku seperti dipukul-pukul.
“Standar. Namanya juga artikel sensasional. Pasti kamu akan didera begitu sampai mereka semua bosan ama tulisanmu yang konyol itu,” kata Koro, sahabatku yang selalu ingin jadi artis tapi belum kesampaian.
“Udah kayak seleb aja, ih!”
Nah! Dia cemburu kan!
Dari semua berita yang kutahu, akhirnya ada peninjauan dari DPR ke Kampung Tiga. Ke Pabrik Minyak Wangi. Ke air sungai biru tua. Ke sawah penduduk termasuk sawahnya Zamroni.
“Terima kasih, pak. Ini ada oleh-oleh dari saya dan teman-teman di sana. Cuma sedikit saja. Tidak apa ya?” Zamroni menyuruh kuli angkutnya untuk bongkar muat di garasi kantor. Isinya: kelapa 20 butir, ayam jago 5 ekor, ayam-ayam betina yang gemuk-gemuk ada 4 ekor, pisang mangkel 8 tandan, dan beras Kampung Tiga sebanyak 2 karung.
Ini semua, untuk artikel pendek yang hanya 3 kolom, muncul di halaman akhir, dengan jumlah kata tak lebih dari 500.
Ini semua, ungkapan terima kasih yang akan kusimpan sepanjang zaman. Yang kurasakan ini, haru.
Sudah sebulan kupingku terlalu kenyang dengan pujian-pujian dari teman-teman sejawat. Sudah mulai terasa muak. Artikel tentang Pabrik Minyak Wangi, kutulis dengan isi yang tidak ‘seharum’ produk-produknya. Telah kubatalkan semua pekerjaan kantorku. Telah kutolak keinginan redakturku. Aku, di pecat.
Tidak ada sedikit pun selipan benci dan sesal dalam hati dan pikiranku. Malam itu aku mulai membuka file-file skripsiku. Dan menulis seperti tak ingin berhenti. Sama dengan kerinduan pada bau pekarangan rumah di Malang Selatan. Melesat cepat padati pandangan mata dan segala indera.
Sekarang bukan Mei lagi. Kusobek lembarnya dan kujadikan alas di rak lemari pakaian.
Bulan Juni, di Ngliyep sedang bagus. Ikan-ikan kecilnya banyak berenang ke bibir pantai lalu mampir ke sela-sela batu karang. Ombaknya tinggi berdiri, bisa menelan batu-batu karang. Meluncur ke pantai, membawa pasir dan kerang-kerang kumang singgah ke daratan.
Anginnya akan menepuk kencang air laut dan rimbunan bambu. Cuacanya yang dingin dapat menjadi lebih dingin. Orang menyebutnya Bediding. Saat dimana pohon-pohon randu mulai berbunga. Dan usai itu, muncul Lemareng. Masa-masa setelah Rendeng dan beberapa waktu sebelum masa Ketigo.
Saat itu, aku biasa mendengar bunyi serangga Gareng jadi teman merdu pengantar tidur dan kawani semua malam-malamku selama pancaroba di sana. Kembang-kembang randu akan ada yang jatuh di atas bale-bale.
Rinduku berlari lebih kencang dari angin laut.
Malang Selatan, memang tak pernah ingin pergi dariku.
Jakarta, 16 Juni 2006
Writer : Ayu N. Andini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment