Thursday, August 31, 2006

My Blue Day


Kemarin malam, perasaan saya hancur berantakan.
Hari ini, yang berantakan itu menjadi serpihan-serpihan.
Sakitnya jadi lebih sakit dari segala rasa sakit yang sudah pernah singgah sebelumnya.
Rasanya ingin pergi saja.
Ke sebuah tempat yang tak pernah ada rasa sedih, dan tak pernah ada rasa sakit.

"Jadi salah gue? Salah temen-temen gue, kalau elo merasa aneh di tengah lapangan seperti ini? Sakit jiwa !!!"
(dikutip dari sebagian kecil dialog film AADC)

Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini

Friday, August 25, 2006

Setelah Dua Tahun Kepergiannya

Besok, ada yang bahagia, ada juga yang menangis. Besok, ada banyak bayi yang lahir dan ada banyak lengking kematian. Besok, adalah saat saya berbahagia karena sahabat saya akhirnya lulus dan diwisuda. Saya juga teringat bahwa tepat esok hari, pada dua tahun yang lalu ayah saya meninggalkan kami untuk pergi ke sebuah tempat yang bisa membuatnya terbebas dari semua rasa sedih dan semua rasa sakit. Selama dua tahun kepergiannya, kami sekeluarga merasakan banyak hal yang tak sempat kami bagi dengannya. Sewaktu pertamakali saya diterima bekerja sebagai reporter di salah satu media cetak di Jakarta, saya juga sudah tidak dapat berbagi bahagia dengannya. Sewaktu saya merasa sedang berdiri tegak di sebuah horison yang panjang, datar, dan sepi, saya juga tidak bisa berbagi sepi dengannya. Setiap kali saya bahagia dan setiap kali ditimpa kesedihan, saya cuma bisa berbisik di depan nisannya.
Sekarang, saya juga berbisik pada Tuhan, "Berikan tempat yang terbaik baginya, disisiMu."


Writer : Ayu N. Andini

Thursday, August 24, 2006

Tourist Memang Konyol

Pantai Tanjung Pesona, memang bagus. Pasirnya masih halus dan bersih. Air lautnya juga biru bening. Kerang-kerang kecil warna warni menyembul di permukaan pasir pantainya. Batu-batu yang setinggi rumah dua lantai ini, menumpuk dan menyebar di beberapa sisi pantai hingga membentuk banyak lekukan di sepanjang tepiannya. Jika ingin menyentuh air lautnya, kita harus menuruni anak-anak tangga yang dibuat di atas batu-batu ini. Di tempat ini ada banyak sisi-sisi tersembunyi. Ada banyak kelokan tangga di situ. Sewaktu saya masih kagum dengan tumpukan-tumpukan batu besar di tepi-tepi Pantai Tanjung Pesona (Bangka), ada sedikit gangguan dari sepasang tamu yang berkunjung ke tempat itu.
Dari sudut kelokan tangga, tanpa sengaja saya melihat mereka sedang ehm...ehm...bercumbu !
Waaaah....! Ada niat nakal untuk motret, tapi jadi urung lantaran keburu sadar.
Apakah batu-batu dan kelokan tangga ini memang dulunya dibuat untuk menyembunyikan perbuatan konyol mereka? Sudah pasti, jawabannya: TIDAK !!!
Karena jika batu-batu itu bersuara, mereka pasti sudah mengirimkan berita kepada semua orang yang datang ke sana, "Kami sudah tertanam di sini sejak ribuan tahun, tapi jika hanya jadi sudut-sudut mesum, baru beberapa abad ini saja."


Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini

Lusa, Ada Acara Wisuda


"Kenapa?"
Sebuah kata tanya yang ada sampai sekarang. Untuk berbagai hal, semua orang tak pernah bosan dengan pertanyaan yang satu ini. Saya juga begitu.
Lusa, salah satu sahabat saya akan diwisuda. Dia agak telat, memang. Skripsinya detail sekali.
Yang daftar wisuda sudah ratusan. Yang tidak daftar, ada banyak alasan. Dari mulai tidak punya biaya, sampai dengan yang malas repot ikut wisuda. Sahabat saya ini, akhirnya mendaftar juga. Mau tau alasannya? Dia bilang, "Aku harus ikutan wisuda karena sudah janji bakal jadi objek foto teman-teman kampus."
Dulu, saya ikut wisuda juga dengan alasan, "Orangtuaku ingin punya foto wisuda sarjanaku."
Dan ini, foto diri saya waktu wisuda tahun 2002 lalu.
Lusa, saya tidak termasuk yang ikut motret acara wisuda. Saya juga tidak termasuk sebagai orang yang diundang untuk datang ke sana. Jadi, yaaa...saya cuma bisa berbagi bahagia dan mengingat saat-saat wisuda, lewat foto ini saja.


Writer : Ayu N. Andini
Photo by "Someplace" Photo Studio

Wednesday, August 23, 2006

Ayo Tebak !


Sejak sepuluh tahun yang lalu, saya tinggalkan Bangka. Baru bulan Agustus ini saya rasakan lagi, jemari kaki saya menyentuh pasir-pasir cokelat muda di Pantai Pasir Padi. Siang itu, langitnya tidak terlalu biru. Mata saya jadi tersita untuk perhatikan butiran-butiran pasir di sana. Ada yang sedang membangun rumah di situ. Ada yang sedang menimbun makanan di bawah permukaan pasir yang saya injak. Ada banyak garis-garis berpola di sana. Ayo tebak, apa yang sedang bergerak di antara butiran-butiran pasir ini? Ada berapa ekor ayoooo?


Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini

Happy Birthday, Indonesia





Menengok sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, ada beberapa peristiwa penting yang menasional dan terjadi di beberapa bagian kota di Indonesia. Jalur napak tilas kali ini melangkah mundur, ke 61 tahun yang lalu.

Perumusan Naskah Proklamasi
Saat itu, 16 Agustus 1945, pukul 04.30 WIB. Sebuah peristiwa terjadi di rumah kepala Negara RI. Orang nomor satu di Indonesia beserta wakilnya, telah diculik oleh sekelompok pemuda dokuritsu zunbi kosasai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk Jepang beberapa waktu sebelumnya. Soekarno kemudian dibawa ke sebuah rumah di daerah Rengasdengklok. Di sana terjadi proses kompromi tentang rencana pernyataan kemerdekaan. Banyak di antara para pemuda yang tidak menyetujui hal itu, mengingat PPKI adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh Jepang. Dari proses perundingan di Rengasdengklok, akhirnya diperoleh sebuah kesepakatan penting. Presiden Soekarno dan wakilnya, Muhammad Hatta kemudian diboyong ke Jakarta.

Pada pukul 22.00 WIB rombongan ini tiba di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Di tempat inilah naskah proklamasi dirumuskan oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebardjo, lalu diketik oleh Sayuti Melik. Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI ini ditandatangani Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, pada saat menjelang waktu Shubuh, tanggal 17 Agustus 1945.

Tempat peristiwa bersejarah ini sampai sekarang masih berada pada lokasi yang sama. Bentuk bangunannya pun tetap sama seperti bentuk ketika pertama kali didirikan sekitar tahun 1920 dengan rancang bangun arsitektur bergaya Eropa.

Beberapa isi ruangan dipertahankan dalam keadaan yang sama dengan kondisinya waktu dulu. Hampir sama persis seperti ketika proses perumusan naskah proklamasi disusun di sana, 61 tahun yang lalu. Kursi dan meja yang sama, serta ruangan-ruangan dengan jendela dan pintu dalam kondisi yang tak diubah bentuk. Ada beberapa dokumen penting yang diletakkan di dalam lemari kaca, misalnya pemutar piringan hitam kuno, kaset VHS yang berisi rekaman acara pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945, dua lembar pecahan uang kuno, replika naskah proklamasi tulisan tangan, dan berbagai catatan sejarah proklamasi kemerdekaan RI di berbagai kota.

Pemindahan status kepemilikan gedung ini terjadi pada aksi nasionalisasi terhadap milik-milik bangsa asing di Indonesia. Gedung ini juga pernah digunakan sebagai kantor Perpustakaan Nasional. Pada tahun 1992, atas inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Prof Dr. Nugroho Notosusanto melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0476/1992 tanggal 24 November 1992, gedung ini ditetapkan menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi hingga sekarang.

Museum ini dibuka untuk umum setiap harinya, kecuali hari Senin dan Hari Besar. Hari Selasa s/d Minggu, museum dibuka sejak pukul 08.30 s/d 14.30 WIB dengan harga karcis masuk yang sangat murah. Hanya dengan biaya masuk Rp750,- untuk dewasa perorangan, dan Rp250,- untuk anak-anak. Bahkan untuk pengunjung rombongan, harga tiket masuknya lebih murah. Hanya berkisar Rp100,- s/d Rp250,- per orang.

Gedung museum dan isinya yang terawat baik, kini banyak memberikan nilai-nilai edukatif, khususnya tentang sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI. Pengunjung yang datang, umumnya adalah para murid, pelajar, siswa, para mahasiswa serta turis-turis mancanegara. Museum Perumusan Naskah Proklamasi juga sering menerima tamu dari Kedutaan Jepang.

Menurut Yuwono, salah satu pegawai Tata Usaha di Museum Perumusan Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI, pihaknya bahkan sering menerima tamu dalam jumlah yang banyak. Satu rombongan bisa mencapai 500 orang.

Selain menerima kunjungan para tamu, di tempat ini juga sering dilakukan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI. Bahkan pihak pengelolanya sekarang Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata telah membuat program acara yang diadakan setiap tahun, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI.

Berdasarkan penuturan Yuwono, Biasanya acara spesial ini digelar dengan tema napak tilas proklamasi kemerdekaan RI. Acara puncaknya dilaksanakan pada tanggal 16 Agustus seiap tahun. Menurut rencana, akan ada karnaval dengan rute Jl. Imam Bonjol No.1 s/d ke Gedung Pola (Gedung Perintis Kemerdekaan di Jl. Proklamasi). Selain dihadiri oleh beberapa orang penting dari jajaran Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, acara ini juga akan diramaikan dengan karnaval menarik. Beberapa pihak yang pernah terlibat adalah klub motor-motor kuno, mobil-mobil kuno, kelompok sepeda-sepeda antik, dan kelompok drum band dari SMA YAPENAS Jakarta.

Sejarah Dimulai dari Pegangsaan Timur
Sejarah kemerdekaan RI sebenarnya dimulai dari sebuah rumah yang terletak di Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Di sanalah naskah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan untuk pertama kalinya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus pada pukul 09.52 WIB. Namun pada kenyataannya, rumah bersejarah ini sudah tidak ada lagi sejak tahun 1960. Sejak Soekarno bersepakat dengan Pemerintah Jakarta (masa pemerintahan Henk Ngantung) untuk merenovasinya, maka sejak itu bangunan ini dipugar rata dengan tanah, dan tak sedikitpun bangunan yang tersisa darinya.

Hingga pada tahun 1961, Presiden Soekarno meresmikan pembuatan Tugu Petir di lokasi yang sama. Tugu berbentuk silinder mencapai tinggi yang lebih dari 8 meter dengan simbol petir yang ada di puncaknya itu, kini berdiri di depan sebuah gambar Soekarno dalam siluet hitam putih yang menjulang tinggi menjadi latar belakangnya.

Kemudian, pelataran sebelah baratnya, dibuatkan dua patung Sekarno-Hatta yang berdiri berdampingan. Mirip dengan dokumentasi foto ketika naskah proklamasi pertama kali dibacakan. Di tengah-tengah dua patung proklamator setinggi 3 meter-an ini, ada naskah proklamasi yang dicetak besar-besar di atas lempengan batu marmer hitam, dengan susunan dan bentuk tulisan mirip dengan naskah ketikan aslinya. Semua ini, disebut sebagai Tugu Proklamasi, termasuk Tugu Petir yang ada di sebelah kiri patung proklamator.

Tugu Proklamasi yang kini berdiri di tanah lapang kompleks Taman Proklamasi di Jl. Proklamasi (dahulunya disebut Jl. Pegangsaan Timur No. 56), Jakarta Pusat menjadi simbol. Penanda bahwa di tempat patung itu berdiri, di sana pernah terjadi peristiwa bernilai historis panjang hingga kini.

Pada perkembangannya sekarang, lokasi ini pun menjadi tempat pilihan bagi berkumpulnya para demonstran untuk menyuarakan pendapat-pendapatnya. Lain halnya ketika sore menjelang. Pada hari-hari yang biasa, para penduduk yang tinggal tak jauh dari lingkungan taman ini kerap berkunjung ke Tugu Proklamasi untuk berbagai aktivitas.

Tempat ini menjadi tempat favorit anak-anak bermain, karena arealnya yang luas dan bersih. Bahkan terkadang dijadikan arena berolahraga, tempat berkumpul dan bertemu, atau hanya untuk duduk-duduk saja menghabiskan sore hingga senja datang. Karena banyaknya pengunjung setiap sore, khususnya setiap Sabtu dan Minggu, para pedagang pun tak mau melewatkan kesempatan untuk menangguk keuntungan. Ada pedagang bakso, makanan-makanan gorengan, bahkan penjual balon. Namun, Tugu Proklamasi tetap menjadi tempat yang spesial untuk acara peringatan Hari Kemerdekaan RI tiap tahunnya.

(Tulisan ini telah dimuat di majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta)

Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
Ket.Foto: Judul "Happy Birthday, Indonesia" 2006, lokasi di Tugu Proklamasi,
Jakarta Pusat

The Gotheborg


Ini, sebagian kecil dari Kapal Gotheborg.
Photo by Ayu N. Andini

Kunjungan dari Gotheborg

Sejak kedatangannya di Jakarta, Kapal Götheborg telah menarik perhatian segenap masyarakat Indonesia. Pelayaran napak tilas ini mengundang banyak wisatawan datang untuk memandangi dari dekat, replika kapal Götheborg yang berusia 250 tahun lebih. Momen yang tidak setiap tahun bisa dinikmati di Indonesia.
Sebagai bagian dari hubungan sejarah Indonesia dan Swedia, Kapal Götheborg merapat di pelabuhan Tanjung Priok sejak tanggal 18 Juni 2006 dalam rangka peringatan napak tilas jalur sejarah perjalanannya. Kapal yang sudah mengarungi seluruh Afrika dan Asia ini, pernah singgah di pelabuhan Sunda Kelapa-Batavia (sekarang disebut sebagai pelabuhan Tanjung Priok). Persinggahannya pada awal abad ke-19 di Sunda Kelapa, merupakan rangkaian perjalanan niaganya ke Tiongkok. Kapal ini merapat di pelabuhan Göthenburgers di Swedia. Lalu kemudian orang-orang di sana menyebutnya dengan nama Götheborg. Setelah berlayar ke beberapa samudera selama 2 tahun, kapal ini mengalami kerusakan hingga akhirnya tenggelam sebelum bisa merapat di pelabuhan Skandinavia. Kini, yang merapat di pelabuhan Tanjung Priok-Jakarta adalah replika dari kapal Götheborg, dengan desain modern dan bentuk yang mirip dengan yang asli.

Kapal Götheborg, Dulu dan Sekarang
Menurut beberapa catatan sejarah, kapal Götheborg yang pertama, dibuat pada tahun 1738 di Terra Nova, sebuah tempat pembuatan kapal di Stockholm-Inggris. Kapal ini diberi nama East Indiaman Götheborg. Napak tilas yang akan ditempuh dalam perjalanannya tahun ini, dibuat berdasarkan jalur perjalanan niaga yang pernah dilewati selama awal abad ke-19. Dalam perjalanannya, kapal ini telah singgah di Cadiz- Spanyol pada pertengahan November tahun lalu. Pelabuhan-pelabuhan berikutnya yang termasuk dalam jalur napak tilasnya adalah Recife di Brazil, Cape Town dan Port Elizabeth di Afrika timur. Pada pelayarannya menuju ke Canton (Guangzhou) di Tiongkok, kapal ini singgah di Sunda Kelapa- Jakarta dan di pelabuhan Fremantle di Austalia. Mengulangi jalur pelayarannya, Götheborg yang telah pernah merapat di Batavia, pada bulan Juli 2006 lalu, berkunjung ke Jakarta selama sepekan penuh sebelum menuju ke Guangzhou. Kapal Götheborg ini, dibuat dengan desain bentuk yang dibuat sangat mirip dengan desain yang asli. Joakim Severinson, salah seorang pakar pembuat kapal di Swedia, telah terlibat dalam proses pencarian artefak kapal Götheborg dan menyusun riset serta penelitiannya selama hampir delapan belas tahun hingga akhirnya ia membuat drawing kapal ini secara lengkap dan utuh selama dua tahun penuh dan rampung pada tahun 1995. Joakim pula yang bertanggungjawab dalam proses pembuatan replika kapal Götheborg yang kini berlayar ke lebih dari lima negara. Kapal yang berbahan utama kayu dari pohon oak dan pinus ini, membutuhkan waktu 10 tahun untuk proses pembuatan. Hingga akhirnya pada tanggal 2 Oktober 2005 lalu, kapal ini berlayar dari pelabuhan Swedia untuk melakukan perjalanan napak tilasnya ke Tiongkok. Momen ini disaksikan oleh seluruh keluarga Kerajaan Swedia dan ribuan orang. Berlabuhnya East Indiaman Götheborg di pulau Jawa tempo dulu, mengangkut banyak hasil bumi dari Indonesia. Selain rempah-rempah, beberapa galon air tawar bersih, berbagai buah-buahan dan sayuran-sayuran segar pun masuk ke dalam kargo kapal. Sedangkan dari Tiongkok, mereka mengangkut banyak sutra, perangkat makan dari keramik, dan teh. Namun sekarang, kapal Götheborg memuat 80 orang kru yang terdiri dari 20 orang awak kapal tetap, 50 relawan, dan 10 orang ilmuwan dan wartawan dari beberapa negara termasuk dari Indonesia. Jika pada sejarah lampaunya kapal ini berfungsi sebagai kapal perang dan kapal dagang, kini fungsinya telah beralih. “For now, we didn’t brought any cargo, because this ship is a friend-ships,” ucap Peter Kaalin, Kapten Kapal Götheborg yang siang itu (22/6) menemani TC berwisata di Kapal Götheborg. Kali ini, Kapal Götheborg menjadi simbol tradisi dan budaya Swedia, sekaligus media untuk mempererat jalinan persahabatan Swedia dengan seluruh dunia.

Berwisata di Kapal Götheborg
Kapal Götheborg yang asli memang telah tenggelam ratusan tahun yang lalu, tapi sejarah tentangnya tak pernah ikut mati. Ketika para penyelam menemukan beberapa peninggalan kapal ini di bawah kedalaman laut di perairan Skandinavia pada bulan Desember 1984 lalu, maka sejak itulah proyek penelitian sejarah kapal ini dilakukan. Fisik kapal yang dominan terbuat dari kayu, bentuknya tetap dipertahankan hingga sekarang. Tinggi permukaan badan kapal yang tampak, mencapai lebih dari 5 meter. Dari data yang diperoleh, badan kapal yang sebagian lagi berada sejauh 5,25 meter di bawah permukaan air. Pada setiap dek, ada nama yang berbeda. Dek yang menjadi area wisata pengunjung adalah sun deck, weather deck, dan gun deck. Pertama kali, kaki akan menapak pada bagian weather deck. Karena dek ini adalah dek yang pertama dijangkau tangga dari tepi pelabuhan. Pada weather deck, terdapat tiga tiang utama yang besar dan kokoh. Tingginya mencapai 47 meter dari permukaan air. Menurut penuturan salah satu awak kapal, tiang ini terbuat dari kayu-kayu pinus. Ukurannya dibuat sesuai dengan desain aslinya. Kapal ini juga membentangkan layar-layar yang ukurannya mencapai 2000m². Layar-layar yang berwarna putih gading ini terbuat dari kain linen tebal tahan sobek yang dibentuk dengan jahitan manual (tangan). Pada dek yang sama, diapit diantara ruang kapten dan ruang navigasi, terdapat ruang terbuka untuk kemudi kapal. Di sana, ada satu alat kemudi yang berbentuk lingkaran dengan jari-jari dari kayu berukir. Disebut steering wheel. Desainnya dibuat sangat sederhana, tanpa sistem hidrolyc. Jika cuaca sedang buruk, butuh empat orang kru kapal untuk memegang kemudi ini.
Martin Wallin, salah satu awak kapal latih, menuturkan bahwa mengendalikan steering wheel ini juga berpedoman pada arah angin. Juru kemudinya akan selalu melihat angka yang tertera pada mesin digital yang terpasang di palang kayu, dan melihat penunjuk arah angin dan cuaca pada sebuah papan kuno di dinding kiri dekat kemudi. Alat penunjuk cuaca dan arah angin ini, memang tampak sangat kuno. Di papannya tertera angka-angka romawi dan beberapa jejak lubang paku yang kosong. Konon, ini peninggalan dari budaya orang-orang Indian yang telah lama dipakai juga di atas kapal Götheborg. Berjalan ke arah hulu kapal, selain terdapat dua sekoci kayu, ada sebuah palang yang setiap pinnya telah membelit utas-utas tali layar yang tebal. Ini disebut, pin rail. Tempat tali-tali layar kapal diikatkan. Semakin ke ujung pangkal kapal, terdapat bel yang digantung dipalang kayu berwarna merah. Bel ini disebut, ship’s bell. Akan dibunyikan sebagai tanda kapal mulai berlayar dan tiba di pelabuhan. Agak naik ke sun deck yang terletak paling atas, di sana terdapat kompas berdiameter 30 cm. Sesuai dengan sebutannya, di dek ini sinar matahari dan angin laut akan segera menerpa siapa pun yang berdiri di sana. Perjalanan menengok kapal berusia 250 tahun ini, tidak terhenti sampai di sana. Pengunjung diajak menengok 10 buah meriam di ruang gun deck. Meriam dengan berat masing-masing 700 kg ini tidak digunakan sesuai fungsinya. Hanya untuk ditengok saja. Ruangan ini lebih banyak berfungsi sebagai ruang duduk dan ruang makan para awak kapal. Dari salah satu bilik kayu yang ada di dalamnya, terdapat mesin kapal dengan desain modern. Didukung oleh 2 Volvo penta diesel engine (with out put 1100hp), kapal ini mampu melaju dengan kecepatan hingga 17 knots. Area wisata ini dibuka untuk umum setiap hari Sabtu dan Minggu (pukul 10.00 WIB s/d 18.00 WIB) semenjak sepekan kedatangannya di Tanjung Priok – Jakarta. Sebelum memasuki kapal Götheborg, masih ada yang patut dikunjungi semacam acara pengantar. Acara pameran ini memampang sejarah kapal Götheborg di papan berderet panjang lengkap dengan lukisan dan foto-foto klasik abad ke-18. Semuanya bisa dinikmati dengan GRATIS. Momen yang tidak setiap tahun bisa dikunjungi ini, telah menjadi peristiwa pariwisata yang unik bagi perayaaan ulang tahun ke-479 kota Jakarta yang telah lalu.
(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah wisata yang berkantor di Jakarta)

Writer: Ayu N.Andini

Tuesday, August 22, 2006

Catatan Rindu Milik Hanung

Mata Hanung terpejam lama.
Ingatannya mencoba menarik garis-garis.
Membuat gambar wajah seseorang yang belakangan ini membuatnya gelisah, terhempas, dan melayang.
Hanung masih enggan mengakui, ia jatuh cinta.
Ia lebih sering menyebutnya, “Ah, aku cuma sedang rindu saja.”
Rindu yang tak pernah berujung. Beberapa minggu ini ia cukup cemas dengan keadaan perasaannya sekarang. Hanung tak pernah berhasil melukis ujung rindunya pada lelaki itu. Setiap kali ia bertemu dengan rindu, selalu ada ajakan yang sama. Berjalan di sebuah padang rumput, dengan bunga-bunga lili dan sedap malam yang mekar segar. Wangi mawar dan tanah basah, jadi teman sepanjang jalan. Warna biru pada langit, seperti pendamping setia yang mengiringi setiap detik perjalanan yang disusurinya. Hanung berjalan di tengah padang dengan kain batik dan kebaya putih. Bau melati ada di dekat untaian rambutnya.
Padang itu begitu landai. Padang itu begitu indah. Wangi dan sunyi, ada di sana. Tapi Hanung tak pernah ingin berhenti berjalan. Padang itu seperti tak punya tepi.
Lalu wajah lelaki itu muncul pada setiap malam-malam sepinya. Muncul pada setiap hari-hari sibuknya. Muncul pada setiap sudut ingatannya. Lalu, perjalanan rindunya tak pernah Hanung cegah. Tubuhnya mulai didera pedih.
Ada kedalaman yang datang tanpa diundang. Hanung panik dibuatnya. Hanung bingung atasnya. Akan disimpan dimana semuanya?Apakah masih ada ruang untuk perjalanan ini? Apakah sang waktu akan berhenti untukku? Akan kemana aku pergi, jika tak pernah mengenal tepi? Tepian yang curam dan terjal. Berisi segala hal yang gelap dan dingin. Hanung benci pada gelap dan dingin.
Dan malam itu, tubuhnya melawan dingin dan gelap yang muncul di sekitarnya. Sudah pukul 2 dini hari. Ia baru tiba di kota itu. “Hah ! Bahkan dingin dan gelap ini, kini tak terasa.”
Hanung baru menyadari, malam itu ia tengah memburu rindunya. Gelap dan dingin, muncul menjadi padang rumput yang penuh dengan bunga lili dan sedap malam yang mekar segar. Ia melakukan perjalanan tak bertepi.
Lelaki itu membukakan pintunya untuk Hanung. Tubuhnya yang menggigil, merangsek masuk kamar, tergesa-gesa.Tangan lelaki itu kekar memeluknya.
“Bukan. Ini bukan tepinya.” Lalu lelaki itu menciumnya.“Ini juga bukan tepian yang kucari.”
Lalu mereka bercinta sampai pagi.“Bukan ini, tepinya.”
Ketika mereka bertengkar kecil di tempat tidur, Hanung berpikir, “Inilah tepian yang curam dan terjal itu.” Tapi ia tak kunjung sampai ke sana.
Bahkan ketika Hanung pulang tinggalkan lelaki itu, Hanung tak merasa tiba pada tepian padang rindunya.“Dimana ya?”
Hatinya telah terbeli. Cintanya telah mengutus pesan kepada seribu malaikat yang terbang di udara.“Demi Tuhan, biarkan aku dan dia tak pernah sampai ke tepi padang rindu milik kami.”
Lalu Hanung menatap pada terang bintang dan mulai menulis pada langit biru, “Ah, aku cuma sedang rindu saja.”
Ketika semua telah lelap, dan rinduku padamu tak pernah tertidur…
Bekasi, 20 Agustus 2006
Writer: Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini

Wednesday, August 02, 2006

Sisi Lain Jakarta Fair 2006


Tong sampah yang tingginya sekitar 1 meter ini, bisa penuh hanya dalam waktu 10 menit saja. Mudah-mudahan saja kru cleaning service ini tidak cepat lelah karena lauk pauk dari jatah konsumsinya lebih sering hanya tahu dan tempe saja. Jika mereka lelah, haduuuuh....Jakarta Fair yang penuh dengan pengunjung ini, bisa penuh juga dengan sampah yang kotor dan bau berserakan dimana-mana. Can U imagine that?


Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini

Tuesday, August 01, 2006

Cerita Pak Yasin

Malam itu, tanggal 16 Juli 2006 ada acara penutupan Jakarta Fair di Arena PRJ. Ketika sudah tiba waktunya, masih banyak teman-teman wartawan yang berdiri di depan gerbang masuk Panggung Utama. "Belum boleh masuk," kata salah satunya. Alasan yang dibilang, karena koordinator bidang pers belum datang. Ada beberapa lelaki berbadan gembur berjaga-jaga di depan pagar masuknya itu. "Mau nunggu sampe shubuh, nih?" Saya mengerutu setelah aksi ngotot dari saya rada di cuekin oleh para lelaki berbadan gembur itu. Lalu saya berjalan ke arah mobil merah besar yang parkir tak jauh dari sana. DINAS PEMADAM KEBAKARAN.

Ada Pak Yasin yang temani saya ngobrol. Dari penuturannya, para kru yang terlibat dalam acara ini dapat fasilitas gratis berkunjung ke Jakarta Fair. "Tapi, teman saya yang anggota kepolisian dan bantu jaga di sini juga, beberapa hari yang lalu ajak istrinya yang lagi hamil gede datang ke sini. Niatnya memang mau ajak istrinya jalan-jalan. Tapi semua pintu menolak. Mereka berdua, "dilempar-lempar" dari pintu masuk yang satu ke pintu yang lain, sampai istrinya menyerah dan akhirnya mereka terpaksa harus bayar tiket masuk ke sini. Semuanya jadi sulit karena sebelum kejadian itu, ada beberapa kru lain yang bawa keluarganya 2 truk penuh dan masuk gratis ke sini. Sejak itu, pengawasan jadi lebih ketat. Ah, daripada dibuat jadi sulit begitu, lebih baik kami bayar tiket masuk aja deh."
Dibalik laporan "sukses" Jakarta Fair yang tahun ini mencatat raupan keuntungan hingga 560 miliar rupiah dengan data jumlah pengunjung sampai pada angka 2,51 juta orang, masih banyak sisi-sisi lain yang tak tersentuh.
Bagaimana dengan keluhan beberapa kru panitia tentang menu makan mereka (yang didapat dari jatah konsumsi panitia/kru), lebih sering dengan lauk tahu dan tempe? Bagaimana dengan sampah-sampah yang "diproduksi" selama acara ini berlangsung? Karena dari ratusan tong sampah, salah satunya bisa penuh hanya dalam waktu 10 menit. Bagaimana pula dengan keluhan Pak Yasin? Tak ada yang sampai ke telinga Ibu Ketua Panitia Jakarta Fair 2006. Semoga tulisan ini bisa terbaca.


Writer : Ayu N. Andini