Wednesday, September 27, 2006

Menengok Layang-layang Berusia 4000 tahun


Melestarikan tradisi bukan hal yang terlalu rumit. Dengan latar belakang kegemarannya bermain layang-layang hingga kemudian mengoleksi aneka layang-layang dari berbagai daerah, Endang W. Puspoyo berinisiatif untuk mendirikan Museum Layang-layang Indonesia sebagai salah satu bentuk kepeduliannya terhadap pelestarian budaya Indonesia.

Tak banyak yang tahu tentang Museum Layang-layang Indonesia. Menempati area seluas 3000 meter persegi di lokasi selatan Jakarta tepatnya di Jl. H. Kamang No. 38, Pondok Labu, museum ini memang tak nampak terlalu mencolok. Karena letaknya berjarak kurang lebih 1 km dari jalan raya Pondok Labu.

Dalam satu area yang luas dan asri ini, ada beberapa pendopo didirikan di sana. Ruang yang berada paling depan, adalah kantor pengelola Museum Layang-layang Indonesia. Sedikit ke dalam, di sebelah kirinya terdapat beberapa kavling tempat workshop keramik dan produksi layang-layang. Ditengah area, berdiri pendopo utama. Di sana adalah tempat para pengunjung dapat menonton beberapa film dokumenter layang-layang. Lalu pada aula depan di pendopo kedua, ada berbagai bentuk dan aneka warna layangan berukuran setinggi palang-palang pintu dan ada pula yang digantung pada rangka langit-langit pendopo (karena ukurannya yang sangat besar). Di sana terdapat sebuah pintu gerbang dengan palang berukir, tingginya seukuran tubuh manusia. Melangkah masuk ke dalam, berarti kita sedang berada dalam ruang museum layang-layang.

Tak perlu biaya terlalu mahal. Cukup dengan Rp 10.000,- per orang, semua pengunjung bisa masuk ke dalamnya, memandangi aneka bentuk dan warna layang-layang se-Indonesia. Bahkan ada pula layang-layang dari Cina, Korea, dan Jepang.

Selain memandangi layang-layang nan cantik yang berjumlah sekitar 500 buah, pengunjung juga dapat menonton beberapa film dokumenter tentang layang-layang, belajar cara pembuatan layang-layang, dan menerbangkannya di pelataran halaman museum ini.

Pengunjung pun tak dibatasi oleh usia. Sudah ada beberapa pengunjung dari luar negeri yang sengaja datang ke museum ini untuk mengenal layang-layang Indonesia.

Tertua di Dunia
Usianya mungkin lebih dari 4000 tahun, panjangnya mencapai 1,30 meter dengan lebar 1,20 meter. Warnanya pun dominan hijau daun. Sisi-sisinya segitiga berbentuk seperti berlian. Yang terpajang pada dinding museum adalah duplikat dari bentuk layang-layang tertua di Indonesia. Bentuk duplikat layang-layang tertua ini diperoleh berdasarkan penelitian terhadap tradisi dan budaya orang-orang yang hidup di daerah Muna, Sulawesi Tenggara pada jaman dibuatnya lukisan-lukisan di gua Muna.

Menurut penelitian para ahli sejarah, penemuan lukisan-lukisan pada dinding-dinding gua Muna, Sulawesi Tenggara adalah bukti sejarah tentang tradisi layang-layang di Indonesia. Ditaksir, lukisan ini berumur lebih dari 4000 tahun. Ada gambar-gambar seperti kelabang, pohon pisang, meteor, dan diantara semua itu terdapat gambar orang yang sedang bermain layang-layang. “Kami juga ada foto lukisan di gua Muna, Sulawesi Tenggara,” ujar Supriyadi, tour guide Museum Layang-layang turut menjelaskan.

Layang-layang tertua ini terbuat dari jalinan daun gadung yang teksturnya tipis dan ringan namun berserat tebal tak mudah sobek. Rangkanya terbuat dari bambu dan bagian belakangnya dilapisi oleh kulit pohon waru agar layang-layang ini kuat menahan terpaan angin.

“Di desa Muna, Sulawesi Tenggara, mereka memainkan layang-layang tradisonal ini. Semua bahannya, rangka, badan, hingga benangnya terbuat dari tumbuh-tumbuhan. Karena pada masa itu mereka belum mengenal kertas dan benang seperti kita sekarang, maka mereka menggunakan bahan-bahan natural. Benang yang dipakai juga terbuat dari serat daun nenas atau dari kulit pohon waru,” papar Supriyadi.

Pada bagian kepala belakang layang-layang ini, dikaitkan sebilah bambu kecil yang melengkung menarik seutas daun lontar hingga berbentuk seperti busur. Jika layang-layang terbang di udara, maka terpaan angin akan meniup kuat daun lontar itu hingga berbunyi kencang, “kowang..kowang…kowang.” Oleh sebab itulah, bilahan bambu itu disebut kowangan.

Dari Seluruh Indonesia
Bentuk layang-layang tertua ini, sepertinya banyak diadaptasi oleh beberapa daerah di Indonesia. Dari sekian banyak layang-layang dalam museum ini, ada pula layang-layang dari daerah Kalimantan Selatan. Dipajang dalam museum dan digantung berdiri. Panjangnya hingga mencapai pucuk atap ruangan. Namanya, Dandang Laki. Kata dandang, diambil dari sebutan alat memasak nasi di daerah Kalimantan Selatan. Dandang juga dianggap sebagai simbol kemakmuran.

Layang-layang Dandang Laki yang berwarna merah muda ini, punya pasangan sejodoh, yaitu layang-layang Dandang Bini, yang berwarna hijau gelap. Dua layang-layang ini biasanya diterbangkan pada masa sehabis panen, di tengah lahan sawah pada musim panas. Dengan pengharapan, agar musim panen selanjutnya membawa kemakmuran bagi penduduk di sana.

Pada layang-layang Dandang Laki, alat kowangan yang dipakai adalah dua bilah bambu yang dikaitkan pada rangka kepala sisi kiri dan kanannya. Bambu dengan ukuran diameter kira-kira 10 cm ini, bentuknya seperti kentongan. Ada celah dibuat membujur di tengahnya. Jika layang-layang Dandang Laki diterbangkan dengan hembusan angin yang cukup kencang, bunyinya bisa terdengar sejauh 1 km.

Ada juga layang-layang dari Lampung. Layang-layang Siger yang cantik ini, terbuat dari kain parasut yang dilukis dengan cat berwarna biru laut, dan dibubuhi bubuk-bubuk berwarna emas pada gambar motif ditengahnya. “Sebenarnya bentuknya mirip dengan daerah lain, tapi yang membedakan itu bentuk kepala, motifnya, dan ekornya. Ini khasnya lampung, kepalanya melingkar seperti ini meniru bentuk sengat binatang ngengat. Dan motifnya ini adalah bentuk mahkota pengantin perempuan Lampung. Nama mahkotanya itu, Siger,” ujar Supriyadi.

Yang unik dari Lampung, menurut tradisi di sana layang-layang juga digunakan sebagai alat bantu untuk memancing ikan. Ada jenis layang-layang lain selain Layang-layang Siger. Ukurannya tak terlalu besar. Layang-layang ini pada awalnya, terbuat dari daun Loko-loko, sejenis tumbuhan pakis. Daun ini diikatkan pada rangka dari bambu. Diterbangkan untuk membawa umpan pancingan lebih jauh dari kapal. Jika layang-layang ini bergerak dan getaran benangnya terasa hingga ke tangan nelayan, berarti ujung umpan telah menjerat ikan. Sekarang, tradisi ini masih berjalan. Bahan dari daun Loko-loko diganti menjadi plastik. Tujuannya agar layang-layang tak mudah rusak bila terkena air laut.

Dari tanah Rencong, Nangroe Aceh Darussalam, ada layangan Beseh berwarna warni sepanjang 4 meter dan digantung pada salah satu tiang ruang museum. Berdekatan dengan layang-layang Beseh, ada pula layang-layang asli Aceh yang terbuat dari anyaman daun pandan.

Layang-layang tradisional dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat punya bentuk memanjang. Warnanya kuning kecoklatan dengan beberapa gambar berwarna di tengahnya. Supriyadi memberikan penjelasan, “Mereka membuatnya dari batang pohon pisang. Dibuat tipis, dijemur hingga kering, lalu dibuat menjadi layang-layang dan dilukis.”

Dari Jawa Barat, layang-layang kerap disebut papetengan. Di tengahnya, dilukis gambar Cepot, salah satu tokoh wayang golek terkenal di sana. Sedangkan dari Bali, layang-layang di sana pada awalnya menggunakan bahan dari daun dadap. Layangan ini juga dipajang dekat dengan layang-layang dari Sumbawa.

Di ruang aula museum, ada beberapa layangan berukuran besar berbagai bentuk. Layang-layang Lenbulenan dari Madura, dipajang didekat pintu masuk ruang museum. Ada juga layang-layang berbentuk kereta kencana (lengkap dengan kudanya), naga, kapal laut, dan masih banyak lagi.

Layang-layang Terkecil di Dunia
Selain koleksi layang-layang seluruh Indonesia, museum ini juga memamerkan beberapa koleksi layang-layang terkecil dari Cina. Ada yang berbentuk kumbang berukuran 2 cm, dan ada juga yang berbentuk burung camar berukuran 2,5 cm. Terbuat dari bahan kertas lengkap dengan warna warni lukisan kumbang dan camarnya. Ruas rangkanya pun dari bambu kecil. Diterbangkan dengan cara yang sama seperti menerbangkan layang-layang ukuran normal (25 s/d 30 cm). Namun benang yang digunakan pun sangatlah tipis. Lebih tipis dari utas benang jahit biasa.

Mengenal Layang-layang
Dari ragam layang-layang yang dipajang, ternyata ada tiga kategori besar yang dimiliki Museum Layang-Layang Indonesia. “Layang-layang ini, ada tiga kategori. Layang-layang tradisional, layang-layang kreasi (dua dimensi dan tiga dimensi), serta layang-layang yang termasuk dalam jenis sport kite,” tegasnya. Layang-layang jenis sport kite, membutuhkan banyak gerak tubuh dan kekuatan untuk mengendalikannya. Alat bantu yang biasanya dipakai untuk menerbangkan sport kite, adalah sepeda boogy. Sepeda kecil pendek roda tiga ini selain membantu mengendalikan arah terbang layang, juga berfungsi sebaliknya. Pengendali yang menaiki sepeda boogy, dapat bergerak maju karena ditarik oleh kekuatan terbang layang-layangnya.

“Salah satunya yaitu jenis quadrofoilled. Itu artinya, ada empat benang. Dua di sebelah kiri, dan dua di sebelah kanan. Membutuhkan dua orang dewasa untuk mengendalikannya,” ucap Supriyadi.

Berkunjung ke Museum Layang-layang Indonesia, berarti juga berkenalan dengan dunia layang-layang. Selain melihat aneka bentuk dan warna layang-layang serta mengenal sekelumit sejarah layang-layang di Indonesia, pengunjung pun diajak untuk belajar tehnik pembuatan layang-layang.

.....Kuambil buluh sebatang
Kupotong sama panjang
Kuraut dan kutimbang dengan benang
Kujadikan layang-layang ….

Kurang lebih, cara-cara pembuatannya memang seperti yang tertera pada lirik lagu Layang-layang ini. Untuk membuat layang-layang dengan bentuk paling sederhana, bahan-bahan yang dibutuhkan adalah dua bilah bambu kecil yang sudah diraut, benang, lem, kertas, serta kuas dan beberapa warna cat untuk melukis.

Layang-layang yang telah selesai dibuat, dapat langsung dicoba untuk diterbangkan di pelataran halaman museum. Atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta).


Writer : Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini

No comments: