Friday, September 29, 2006

Sejarah Kerajaan Timah Tempo Dulu

Pulau yang tanahnya kaya akan sumber daya alam ini, kini telah berdiri sebagai sebuah provinsi. Disebut sebagai Provinsi Bangka Belitung. Walaupun pada usianya yang tergolong masih muda (terbentuk sejak tahun 2000), provinsi ini telah menorehkan sejarah sebagai salah satu pelabuhan yang banyak disinggahi kapal-kapal dagang dan menjadi tempat yang banyak diminati para penguasa karena kekayaan alamnya yang melimpah.

Menurut beberapa catatan sejarah, nama Bangka telah mulai disebut sejak abad ke-7. Tepatnya pada tahun 686 Masehi. Ini sesuai dengan bukti sejarah prasasti Kotakapur yang ditemukan di muara Sungai Mendu, Bangka Barat. Dari penemuan ini, disimpulkan bahwa pada saat itu Pulau Bangka telah menjadi salah satu pelabuhan yang penting dan berkembang menjadi ramai.

Dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang berpengaruh luas hingga ke daratan Asia sebagai kerajaan maritim yang paling lama bertahan di dunia, memberikan bukti-bukti yang menyiratkan, Bangka adalah tempat andalan bagi proses ekspor timah yang pada saat itu telah mulai dikenal dan menjadi sumber mata pencaharian bagi penduduk Bangka dan Kerajaan Sriwijaya.

Bangka, diambil dari kata vanca [wangka] dalam bahasa Sansekerta yang artinya : timah. Makna nama Bangka inilah, yang kemudian memperkuat dugaan bahwa timah telah dikenal sejak masa lampau (pada saat pengaruh Hindu mulai masuk ke wilayah ini), bahkan jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berkuasa di Bangka.

Ketika perdagangan timah mulai menguntungkan, VOC dibawah kepemimpinan Cournelis de Houtman mulai melirik Bangka hingga akhirnya membuat kontrak dagang (pada tahun 1668) dengan sistem monopoli, yaitu bahwa penguasa Bangka dan Belitung mengakui VOC sebagai pelindungnya dan berjanji tidak akan menjalin kerjasama atau berhubungan dengan bangsa-bangsa yang lain. Namun ketika Belanda kalah dalam perangnya melawan Perancis, otomatis seluruh negara jajahan Belanda jatuh ke tangan kekuasaan Inggris, termasuk di dalamnya adalah Pulau Bangka dan Belitung.

Pasukan Inggris di bawah pimpinan Thomas Stanford Raffles, berusaha menundukkan Palembang. Maka, terjadilah perang antara Sultan Palembang melawan tentara Inggris. Bagi Raffless, perang ini lebih sebagai perang untuk memperebutkan timah. Akhirnya Inggris berkuasa di Bangka dan Belitung dalam kurun waktu 4 tahun (1812 s/d 1816). Melalui pernyataan politiknya, Inggris pun mengganti nama Bangka menjadi The Duke of York, dan pelabuhan Belinyu pun diberi nama Port Wellington.

Ketika Belanda berhasil masuk dan mulai berkuasa kembali di Bangka (akhir tahun 1816), VOC mulai mendatangkan banyak pekerja dari negeri Tiongkok untuk dipekerjakan di pertambangan-pertambangan timah Pulau Bangka.

Pada tahun 1873, pertambangan timah di Belitung mulai dibuka dan berproduksi. Belanda mulai memperkuat pengaruhnya. Perlawanan-perlawanan rakyat Bangka Belitung tak pernah urun mudur. Depati Bahrin adalah salah satu tokoh yang terkenal pada masa itu dan diburu Belanda karena keberaniannya melawan Belanda, hingga pihak Belanda mengalami kekalahan di hampir seluruh wilayah Pulau Bangka.

Setelah Depati Bahrin wafat pada tahun 1830an, perjuangannya yang tak pernah luntur untuk melawan kekuasaan Belanda atas Pulau Bangka, tumbuh pula pada diri anaknya yang bernama Depati Amir. Semangat juang melawan kekuasaan Belanda terus berkobar, bahkan walaupun Depati Amir telah wafat dan Republik Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tercatat telah terjadi dua peristiwa heroik yang menasional, yaitu pertempuran di Merbau Airseru (25 November 1945) dan pertempuran di Selat Nasik (14 Desember 1945).

Perkenalan Bangka dengan Lada
Hal lain yang juga mengingatkan kita tentang Bangka, adalah hasil perkebunan sahang (lada) di sana. Beberapa catatan menyatakan bahwa sejarah perkenalan Bangka dengan Lada, diawali oleh Demang Abang Muhammad Ali. Ia adalah orang pertama yang mendatangkan bibit lada ke Bangka (tahun 1860) dari Lingga.

Ladang-ladang sahang (lada) mulai dibuka. Bibit lada mulai banyak ditanam di seputar daerah Pulau Bangka. Terlebih setelah Belanda menyatakan bahwa jika timah telah mulai banyak berkurang, maka lada (sahang) menjadi pengganti penghasilan yang bisa dijakdikan andalan di Pulau Bangka.

Akhirnya pernyataan itu membuat pembukaan ladang sahang semakin luas dan semakin dekat ke daerah pertambangan timah. Lada tumbuh subur dan berkembang dengan baik di tanah pulau ini. Hingga kini, hasil perkebunan lada (sahang) telah banyak menghidupi sebagian besar penduduk yang tinggal di Provinsi Bangka Belitung.

Pantai-pantai nan Elok
Bangka dan Belitung, memiliki kecantikan yang tak tersembunyi. Di sepanjang tepian pulaunya, teruntai pantai-pantai nan elok dipandang mata. Air lautnya yang bergelombang, biru dan jernih. Ikan-ikannya yang menari-nari dipukul ombak, ikut menepi ke pantai. Pasir-pasir dan batu-batu karangnya yang membingkai pantai, jadi suguhan yang mengisi hari-hari dan kehidupan masyarakatnya di sana.

Desa-desa dengan penduduk mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, telah pula melahirkan tradisi dan pola kehidupan yang khas dan unik.
Percampuran etnis antara Melayu dan Tiongkok yang telah berjalan ratusan tahun, membentuk asimilasi budaya yang tetap meninggalkan jejak-jejaknya hingga sekarang.

(Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pariwisata yang berkantor di Jakarta)



Writer : Ayu N. Andini

1 comment:

Anonymous said...

Baik pengiriman dan posting ini banyak membantu saya dalam assignement kuliah saya. Terima kasih Anda sebagai informasi Anda.