Sejarah mencatat, pembentukan kampung-kampung di Pulau Bangka telah dimulai sejak diberlakukan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke-18, tentang pembukaan jalur-jalur jalan yang menghubungkan beberapa distrik pertambangan timah. Bentuk perkampungannya mirip dengan perkampungan yang kita jumpai sekarang.
Rumah-rumah penduduk dibangun berderet di tepi-tepi jalan yang menghubungkan antara distrik pertambangan timah yang satu dengan yang lain. Hal itu dimaksudkan agar pengawasan terhadap aktivitas penduduk oleh pihak Kolonial Belanda menjadi lebih mudah.
Ketika terjadi perlawanan yang dipimpin Depati Amir, tentara belanda membentuk kampung-kampung yang serupa dengan Kampung Tuatunu. Pihak penjajah sengaja membuat perkampungan yang letak rumah-rumahnya tak menyebar terlalu jauh. Tujuannya agar para pribumi sulit melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Pangkalpinang, Drs. Akhmad Elvian, Kampung Melayu Tuatunu termasuk dalam Simpul C, yakni sebuah rancangan program pengembangan dan pelestarian wisata sejarah dan budaya di Kota Pangkalpinang.
Bentuk Khas
Sesungguhnya, rumah adat khas Kampung Tuatunu tampak seperti rumah panggung biasa. Pondasinya berupa tiang kayu yang terpancang dan disemen pada tiap dasarnya. Seluruh dindingnya terbuat dari kayu Nyatoh atau Meranti Merah yang pohonnya banyak tumbuh di wilayah kampung ini. Dulu, atapnya terbuat dari daun rumbia, tapi belakangan banyak yang menggunakan genteng. Hanya bagian atap depan rumah saja yang ditambah dengan tumpukan daun rumbia.
Yang membedakannya dengan rumah kebanyakan adalah “pintu penanggung malu” yang ada hampir di setiap rumah. Disebut demikian, karena pintu itu dapat menyelamatkan penghuninya dari rasa malu. Pintu itu digunakan oleh penghuni rumah, ketika ada tamu datang sementara tuan rumah tak punya suguhan yang layak. Lewat pintu yang letaknya di bagian belakang rumah itulah sang tuan rumah keluar untuk meminjam atau membeli suguhan bagi tamunya. Ini dilakukan agar tamunya tidak tahu bahwa sesungguhnya sang tuan rumah sedang kesulitan memberi suguhan di rumah sendiri.
Tradisi Mandi di Sungai
Selain bentuk rumah yang unik, penduduk asli di Kampung Tuatunu juga punya kebiasaan atau tradisi yang beda, yakni mandi bersama di sungai. Dan menurut beberapa warganya, mereka memang lebih senang mandi bersama di sungai daripada di rumah. Oleh karenanya setiap pagi warganya berbondong-bondong berjalan menuju ke sungai kecil yang mengalir di dekat kampung. Tradisi ini mengingatkan kita akan kondisi beberapa tempat di Bali pada era tahun-70-an, dimana ketika itu warganya juga biasa melakukan mandi bersama di sungai berair jernih.
Tradisi mandi bersama di sungai menjadi saat-saat menyenangkan bagi warga Kampung Tuatunu. Di tempat pemandaian alami itulah tali persaudaraan dan persahabatan mereka sebagai sesama warga menjadi semakin kuat. Bagi para ibu, mandi bersama di sungai sekaligus menjadi tempat untuk saling bercengkerama dan berbicara tentang apa saja. Sementara bagi anak-anak, menjadi tempat bermain yang menyenangkan. Sungai kecil itu kiranya menjadi saksi bisu segala macam proses komunikasi dan sosialisasi bagi penduduk Kampung Tuatunu.
Tips Perjalanan:
Kampung Tuatunu terletak di bagian barat Kota Pangkalpinang (Pulau Bangka), menempati wilayah sekitar 2.500 hektar. Di sekitarnya masih terdapat rawa. Dari hasil penelitian, didapati bahwa kondisi tanah di perkampungan Tuatunu mempunyai Ph rata-rata dibawah 5 sehingga cocok untuk ditanami pohon karet, lada, dan palawija.
Jaraknya dari pusat Kota Pangkalpinang sekitar 15 menit dengan angkutan umum. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Buah nanas merupakan salah satu hasil perkebunan warga Kampung Tuatunu yang kerap dijadikan buah tangan oleh pengunjung usai menjambanginya.
Di perkampungan yang dihuni oleh etnis Melayu dengan mayoritas muslim, terdapat mesjid tua yang bangun tahun 1928. Masjid Al-Mukarrom ini masih menjadi tempat ibadah yang ramai didatangi hingga sekarang.
No comments:
Post a Comment