Mata Hanung terpejam lama.
Ingatannya mencoba menarik garis-garis.
Membuat gambar wajah seseorang yang belakangan ini membuatnya gelisah, terhempas, dan melayang.
Hanung masih enggan mengakui, ia jatuh cinta.
Ia lebih sering menyebutnya, “Ah, aku cuma sedang rindu saja.”
Rindu yang tak pernah berujung. Beberapa minggu ini ia cukup cemas dengan keadaan perasaannya sekarang. Hanung tak pernah berhasil melukis ujung rindunya pada lelaki itu. Setiap kali ia bertemu dengan rindu, selalu ada ajakan yang sama. Berjalan di sebuah padang rumput, dengan bunga-bunga lili dan sedap malam yang mekar segar. Wangi mawar dan tanah basah, jadi teman sepanjang jalan. Warna biru pada langit, seperti pendamping setia yang mengiringi setiap detik perjalanan yang disusurinya. Hanung berjalan di tengah padang dengan kain batik dan kebaya putih. Bau melati ada di dekat untaian rambutnya.
Padang itu begitu landai. Padang itu begitu indah. Wangi dan sunyi, ada di sana. Tapi Hanung tak pernah ingin berhenti berjalan. Padang itu seperti tak punya tepi.
Lalu wajah lelaki itu muncul pada setiap malam-malam sepinya. Muncul pada setiap hari-hari sibuknya. Muncul pada setiap sudut ingatannya. Lalu, perjalanan rindunya tak pernah Hanung cegah. Tubuhnya mulai didera pedih.
Ada kedalaman yang datang tanpa diundang. Hanung panik dibuatnya. Hanung bingung atasnya. Akan disimpan dimana semuanya?Apakah masih ada ruang untuk perjalanan ini? Apakah sang waktu akan berhenti untukku? Akan kemana aku pergi, jika tak pernah mengenal tepi? Tepian yang curam dan terjal. Berisi segala hal yang gelap dan dingin. Hanung benci pada gelap dan dingin.
Dan malam itu, tubuhnya melawan dingin dan gelap yang muncul di sekitarnya. Sudah pukul 2 dini hari. Ia baru tiba di kota itu. “Hah ! Bahkan dingin dan gelap ini, kini tak terasa.”
Hanung baru menyadari, malam itu ia tengah memburu rindunya. Gelap dan dingin, muncul menjadi padang rumput yang penuh dengan bunga lili dan sedap malam yang mekar segar. Ia melakukan perjalanan tak bertepi.
Lelaki itu membukakan pintunya untuk Hanung. Tubuhnya yang menggigil, merangsek masuk kamar, tergesa-gesa.Tangan lelaki itu kekar memeluknya.
“Bukan. Ini bukan tepinya.” Lalu lelaki itu menciumnya.“Ini juga bukan tepian yang kucari.”
Lalu mereka bercinta sampai pagi.“Bukan ini, tepinya.”
Ketika mereka bertengkar kecil di tempat tidur, Hanung berpikir, “Inilah tepian yang curam dan terjal itu.” Tapi ia tak kunjung sampai ke sana.
Bahkan ketika Hanung pulang tinggalkan lelaki itu, Hanung tak merasa tiba pada tepian padang rindunya.“Dimana ya?”
Hatinya telah terbeli. Cintanya telah mengutus pesan kepada seribu malaikat yang terbang di udara.“Demi Tuhan, biarkan aku dan dia tak pernah sampai ke tepi padang rindu milik kami.”
Lalu Hanung menatap pada terang bintang dan mulai menulis pada langit biru, “Ah, aku cuma sedang rindu saja.”
Ketika semua telah lelap, dan rinduku padamu tak pernah tertidur…
Bekasi, 20 Agustus 2006
Writer: Ayu N. Andini
Photo by Ayu N. Andini
No comments:
Post a Comment