Monday, October 16, 2006

Tepian Rindu untuk Hanung
















Ia menyimpan semuanya di dalam batu-batu hitam gelap. “Aku tak bisa menikahimu,” kata-kata yang setiap detik jika teringat, seperti mengiris-iris urat nadi darahnya. Perihnya mengantarkan hatinya pada kematian rasa.

Sejak hari itu, Hanung cuma berani bilang I LOVE YOU, tanpa berharap apa-apa. Menurutnya, rasa rindu itu menjadi semakin rumit. Lalu ia berjalan di tepian jurang yang dingin dan gelap. Matanya menatap nanar pada kedalaman jurang yang terjal. Entah kenapa ia membuang seluruh kebenciannya kepada dingin dan gelap. Lalu kakinya menapak pada sebuah batu di tepi jurang. Dua lengannya direntangkan, tubuhnya menantang dinginnya angin lembah yang bertiup kencang.

Ia berdiri tegak, menatap horizon awan dan biru langit di depannya. “Tak ada yang perlu aku bahasakan lagi,” bisiknya. Tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang terjal. Hanung membawa jiwanya terbang, mendekat pada banyak hal yang ia benci.

Sebuah daya yang datang entah dari sudut mana, membuat Hanung mencincang hari dengan rasa cemas, membiarkan dirinya dipeluk dingin dan dilingkupi gelap, tak hirau pada hujan dan api yang membakar dan menyiram tubuhnya berkali-kali. Hanung sedang membunuh keinginannya sendiri.

Jika saja ia paham tentang Legenda Banyuwangi, ia tak perlu terlalu dini mengorbankan dirinya. Jika saja ia paham tentang dongeng selir-selir Kerajaan Singosari, ia tak perlu menjauh dari semua cita-citanya. Sayangnya, Hanung yang manis ini, telah lelah hidup di tengah zaman yang tak mengenalkannya kepada keajaiban kata-kata.


Writer : Ayu N. Andini

Photo by Ayu N. Andini